Mohon tunggu...
Chrisanctus Paschalis Saturnus
Chrisanctus Paschalis Saturnus Mohon Tunggu... lainnya -

bekerja sebagai pembantu di pinggiran Batam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangis Si Kecil di Kaki Bukit Cemara

14 Maret 2012   09:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:03 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semilir angin dingin menyusuri bukit cemara. Dinginnya menambah beku suasana keluarga kecil di kaki bukit itu. Keluarga sedang risau. Perekonomian morat marit. Anak menjerit menahan lapar. Biaya pendidikan pun tak berpihak. Sementara suami cemas tak ada penghasilan tetap dan pasti. Istri bingung susu tak terbeli. Gambaran keluarga muda miskin.

Sebelum kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 saja hidup mereka sudah payah, apalagi kini. Semua harga barang kian melambung tanpa kompromi. Mengharapkan janji pendidikan gratis? Semua seakan mimpi. Inilah nasib orang kecil yang hidup serba pas-pasan. Kalau lagi beruntung, ya bisa makan. Kalau tidak? Ya puasa. Kalau ada biaya, anak bisa sekolah, kadang hanya tingkat SLTP bahkan cukup lulus SD. Yang penting bisa baca-tulis agar tak mudah dibodohi. Meski tak jarang tetap saja dibodohi oleh orang pinter yang lupa diri. Mau mengadu pada siapa?

Udahlah, Mas, nggak usah mengeluhGusti ikhu mboten sare (Tuhan itu tidak tidur). Tuhan itu tahu kebutuhan kita, asal kita tetap sabar dan terus berusaha, bersyukur dan terima hidup apa adanya”. “Kalau hanya aku dan engkau saja yang tinggal dan hidup di gubuk ini, mungkin aku tak terlalu kawatir, Rat, kita masih sanggup untuk puasa satu-dua hari. Tapi di sini ada Tini dan Adek, anak-anak kita. Dan kini dalam kandunganmu sudah ada lagi jabang bayi. Aku mengkhawatirkan mereka, Rat. Mereka butuh makanan bergizi selama masa pertumbuhan. Rat, kadang aku merasa telah gagal menjadi bapak keluarga. Ratna tersentak. Matanya tajam memandang Darso, suaminya. Pandangan tajam syarat makna. Mata Ratna berkaca-kaca. Tanpa sadar butiran air matanya berlinangan basahi kedua pipi ibu muda itu. “Mas…kenapa kau berkata begitu?Apakah kini kau sudah tak punya iman lagi..?” Hidup kita memang susah, namun haruskah kita terus mengeluh dan menyerah? Tanpa bicara Darso menyeka air mata Ratna dengan handuk kecil yang biasa dipakai untuk mengusap keringatnya saat narik penumpang.

“Mak-mak…Tini lapar!” “Sebentar ya, nak… aku panaskan dulu ikan asin ini. Masih ada nasi dingin tadi pagi”. “Ah, nggak mau, aku nggak mau nasi dingin. Aku mau nasi panas!” Rengek Tini. Nasi panasnya nanti malam saja ya Nak?, mudah-mudahan Bapak hari ini dapat penumpang biar kita bisa beli beras dan lauk. Nggak mau, pokoknya aku mau nasi panas sekarang. Belum lagi Tini diam, Adek datang mengadu. “Ma..aku tadi dipanggil kepala sekolah, aku ditanya uang bulananku. Aku nunggak dua bulan. Kalau aku nggak bisa lunasi, aku nggak bisa ikut ujian. Ratna diam menunduk. Ia memang sudah janji pada Adek akan melunasi uang sekolahnya. namun Darso tak pernah dapat duit lebih untuk bayar uang sekolah Adek. Jangankan untuk bayar sekolah, buat beli beras dan lauk saja kurang.

“Ma…aku pergi narik dulu ya…mudah-mudahan hari ini ada penumpang!.” Buru-buru Darso mengambil sepeda motornya. Sepeda motor tua yang ia beli dari hasil penjualan sawah warisan orang tuanya. Sebenarnya berat bagi Darso untuk menjual sawah warisan. Namun kalau tak begitu mungkin asap dapur nggak akan mengepul karena saat itu harga pupuk melambung dan mencekik para petani. Cuaca alam pun tak menentu, sementara irigasi yang seharusnya rampung tahun ini nyatanya terbengkelai begitu saja. Lagi-lagi semua gara-gara ulah koruptor.

Apakah koruptor dulunya bukan orang miskin? Atau tak pernahkah mereka  bergaul dengan orang miskin, sehingga mereka tak pernah merasakan betapa susah dan menderitanya hidup sebagai orang miskin. Rasanya setiap lembaga pendidikan mengajarkan moral dan agama. Dan bukan hanya matematika yang mengandalkan penalaran tinggi dan kerap menggagalkan siswa dalam Ujian Nasional (UN) yang masih kontroversial itu. Pelajaran moral dan agama tentu menanamkan nilai-nilai solidaritas antarsesama, hidup rukun, saling menghargai, saling mencintai, terutama mencintai orang miskin.

Koruptor tidur pulas dengan perut buncit karena kenyang. Mereka mati bukan lantaran lapar atau tersiksa oleh hati nuraninya sendiri karena rasa berdosa. Mereka mati karena kenyang oleh pesta pora dan bekunya hati nurani. Sebaliknya orang miskin mati karena kelaparan. Perut mereka buncit bukan kenyang tapi kena busung lapar. Mereka lapar di tengah-tengah pesta pora. Kehausan di tengah-tengah lautan luas negeri “kolam susu”.

Orang miskin dan koruptor. Mereka hidup dalam satu perahu. Sama-sama berjalan menuju pelabuhan seberang. Bekal berbeda. Namun si koruptor tega menggerogoti bekal yang menjadi hak si miskin. Tak ada cinta. Tak ada solidaritas. Yang ada hanyalah keserakahan. “Agama…, Surga…, Tuhan…?” Andaikan tak ada agama, tak ada surga dan tak ada Tuhan…apa jadinya dunia? Ada agama saja orang masih cakar-cakaran, saling mencabik dan mencampakkan. Andaikan tak ada agama? Di manakah surga? Seakan hanya cerita dari dunia maya. Tak terpikirkan. Neraka? Hati nurani tumpul tak kenal surga dan neraka. Tuhan….? Andaikan orang tak tahu lagi dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, singkatnya andaikan orang tak lagi tahu tujuan hidupnya? oh…sungguh tak terbayangkan. Orang hidup tapi tak kenal haram-halal. Dosa dan kesucian, apalagi. Mata, telinga, hati, semua telah tertutup. Yang masih terbuka lebar hanyalah nafsu angkara dan keserakahan. Perut buncit hamil kelaliman. Masuk- Keluar rumah ibadat namun bangga dengan penipuan dan ketamakan. Andaikan koruptor mendengar Tini minta nasi panas, dan Adek desak uang sekolah, masihkah telinganya terbuka dan hatinya terketuk oleh belaskasihan? Irigasi untuk perut orang lapar. Uang hasil korupsi untuk perut orang kenyang.

Setengah jam Darso merenung di atas sepeda motor tuanya. Ia baru sadar dirinya harus cari uang untuk menyediakan nasi panas untuk Tini dan bukan nasi dingin yang kadang basi serta biaya sekolah untuk Adek. Darso tak tahan mendengar rengekan Tini dan keluhan Adek. Maka ia buru-buru menghindari pemandangan yang ada di depan matanya itu. Sungguh ia tak tega.

Darso merogoh saku celana panjang, sebelum menghidupkan mesin motornya. Kini rosario berada di tangannya. Mulutnya komat kamit lirih mengucap doa “Bunda Maria…sertai dan restuilah perjalananku” “Bapa…aku bersyukur karena Engkau telah pertemukan aku dengan Monica Ratna dalam ikatan Sakramen Perkawinan di rumah kudusMu. Ia sabar meski hidup serba kekurangan. Ia masih bisa bijak meski seharusnya menghojat. Tuhan aku bersyukur  telah Kaupercayakan buah hati Tini dan Adek dari perkawinan kami. Tolong kami Tuhan agar mampu memberikan yang terbaik untuk mereka. Mendidik mereka agar tahu bersyukur dan sadar bahwa Engkaulah Tuhan yang menjadi tujuan hidup dari segala yang ada. Meski miskin secara materi, semoga kami Kaubekali iman yang kuat dan tahan uji. Akhirnya Tuhan… tambahkanlah iman kepada kami.”

Sepeda motor tua itu pun perlahan-lahan merangkak di atas bebatuan terjal di kaki bukit Cemara. Batu-batu terjal itu seakan hendak menguji kekuatan sepeda motor tua itu. Seperti keluarga Tarsisius Darso dan Monika Ratna yang kini sedang diuji oleh situasi hidup yang sedang melilitnya. Demikianlah sepeda motor tua itu bertaruh dalam perjalanan.

Pohon-pohon cemara kini diselimuti kabut. Makin lama makin tebal. Menutup dedaunan, ranting dan pokoknya. Menutup gubuk reot Darso. Menyelimuti dua sosok tubuh mungil yang kedinginan. Sesekali dua sosok tubuh mungil itu terbangun lalu menangis karena lapar. Sementara Darso belum kembali ke rumah. Sang istri menunggu hingga larut malam. Namun ia tetap percaya bahwa Darso akan pulang. Dipandanginya foto mereka berdua saat bersimpuh di depan altar suci Tuhan, bicara lantang di hadapan Pastor dan seluruh umat yang hadir, berdua bersumpah setia untuk saling mencintai meski dalam untung dan malang.

(darimu wiwit)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun