Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Quo Vadis Etika dalam Pemerintahan

18 Juni 2021   06:38 Diperbarui: 18 Juni 2021   06:46 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akan tetapi pemilu-pemilu demokratis belum tentu bisa mewujudkan pemerintahan yang efektif jika koordinasi antar lembaga pun tidak berjalan dengan baik. Lalu, apa yang salah dengan format pemilu? Adakah penyebabnya sehingga pemilu-pemilu ini tidak menghasilkan pemerintahan yang sinergis dan efektif?

Semua ini terjadi karena belum adanya kesepakatan formula demokrasi yang akan dijunjung sejak kemerdekaan sekalipun. Orde Baru seharusnya menjadi tonggak awal dalam perumusan formula demokrasi yang paripurna, tetapi ada beberapa penyebab mengapa orde reformasi belum dapat menyempurnakan formula tersebut: 1. Model transisi demokrasi yang tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi, 2. Amandemen konstitusi yang cenderung tambal sulam, 3. Sistem multipartai ekstrem tidak mendukung skema sistem demokrasi presidensial.

Etika pemerintahan menjadi penting karena harus menjadi tolok ukur bagi kelompok yang berbeda secara ideologi, para pemimpinnya dan perwakilan terpilihnya di parlemen. Aparatur pun harus senantiasa menjaga kewibawaan dan citra pemerintah melalui kinerja dan perilaku sehari-hari. Etika pemerintahan mengamanatkan kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik bagi para pejabatnya. Pada bagian akhir, Prof. Siti Zuhro memberikan tiga rekomendasi berupa: penataan sistem pemerintahan, penataan sistem pemilu dan kepartaian, dan penataan politik hukum
 

Etika Birokrasi dalam Pemerintahan

Materi berikutnya dari pakar Ilmu Pemerintahan UI Prof. Eko Prasojo. Profesor yang juga pernah menjadi Menteri PAN/RB tersebut memaparkan materi berjudul "Etika Birokrasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan." Karena tidak hadir langsung di lokasi, materi disampaikan secara virtual melalui aplikasi zoom. Menurutnya etika selalu berhadapan dengan tantangan perubahan zaman. Perubahan zaman menuntut pragmatisme supaya tidak terpental dari percaturan. Namun demikian, etika tetap harus dipegang sebagai koridor dalam merespon perubahan.

Tantangan dalam mempertahankan tuntutan perubahan dilakukan melalui pendekatan ekologis dan patologis. Secara ekologis, faktor eksternalnya dipengaruhi oleh sistem sosial budaya dan intervensi politik. Sementara dalam faktor internalnya, dipengaruhi oleh kemampuan kepemimpinan, manajemen, struktur, budaya, dan organisasi.

Secara patologis, maka ada 175 penyakit birokrasi yang terkategori menjadi tiga jenis penyakit: Penyakit akut: pewajaran korupsi dan pelanggaran hukum; Penyakit kronis: mematikan organisasi; dan Kelainan kepribadian: pewajaran etika dan integritas yang cacat. Norma hukum dan etika menjadi alat untuk terhindar dari berbagai jenis patologis tersebut. Adapun norma dan hukum etika tercantum dalam hukum tertulis/tidak tertulis, meliputi: peraturan, etika, budaya, nilai dasar,  dan meta-norma.

Professor menyampaikan bahwa penyakit negara itu terletak pada oligarki terhadap pemerintahan. Oligarki dimaksud adalah pengaruh kuat oleh pengusaha dalam penyelenggarakan negara, atau yang sering disebut sebagai shadow government. Hal tersebut akan diperparah jika masyarakat sipilnya lumpuh dan apatis melihat masalah sosial. Korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi birokrasi dipengaruhi oleh lemahnya sistem, budaya, dan etika.

Desain politik dibuat bukan sekadar untuk mengakomodasi sistem politik sendiri, melainkan pada sistem kepemerintahan: good governance. Kala negara lain sudah maju ke sistem governance 4.0 yang mengutamakan kecepatan, konvergensi, dan etika. Kita masih berada pada governance 1.0 yang model politik berorientasi birokrasi, dengan hanya oligarki sebagai setir utamanya. Apa yang dapat membawa kita pada perubahan? Yaitu pada globalisasi, digitalisasi, dan milenialisasi.

Fenomena negara kita dilihat dari praktik KKN yang terus meluas, yang padahal sumbernya berasal dari lemahnya etika dan budaya: tren (aturan, praktik, doktrin yang problematis), struktur (sistem organisasi, aturan, hubungan antarpekerja, dan otoritas yang buruk), dan model mental (kepercayaan pribadi, tradisi saklek, prasangka buruk, dan nilai-nilai yang keliru).

Terakhir Prof. Eko Prasojo memberikan saran agar kita merumuskan UU Etika Pemerintahan. RUU ini akan melengkapi perubahan sistem yang ada dan proses pembentukan nilai dasar etika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun