Mohon tunggu...
Chairul Anwar
Chairul Anwar Mohon Tunggu... Penulis lepas

Ndoro kakung. Tua bukan berarti linglung. Kadang sedikit bingung kalau harga barang tiba-tiba membumbung. Tetap mengais walau belum berujung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kita terlahir sebagai juara tangguh

8 Desember 2012   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:59 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13549794401388513160

[caption id="attachment_220314" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/motifake.com"][/caption]

SPERMA, bagi sebagian orang, tak berguna apa-apa. Ada yang dibiarkan terbuang percuma ketika orang asyik dengan kesendiriannya. Bagi sebagian yang lain—terutama pasangan suami istri—sperma demikian langka. Yang diidamkan itu pun mahal harganya. Tak sedikit biaya yang terkuras hanya agar punya sperma sehat nan sempurna.

Tak banyak yang paham, bahwa produksi sperma dilakukan oleh tubuh kita selama berhari-hari melalui proses yang begitu rumit dan sulit sebagaimana pada fase menstruasi pada wanita. Ianya dimulai dari pembuatan “bayi” sperma (spermatogenesis) di “rumah produksi” (testis). Kemudian tahap “penggemblengan” pada jalur epididimis, pipa sepanjang 6 meter, yang dikelilingi jaringan ikat yang di dalamnya sangat rumit karena berkelok-kelok. Ada sekitar 300-an juta juta bayi sperma yang diproduksi dan akan terlibat dalam “tur biologis” selanjutnya.

Setelah “ngebut” di jalur epididimis, bayi sperma yang mulai matang itu berjalan sampai ke bagian belakang (cauda epididimis), dan melanjutkan perjalanan ke sebuah lorong sepanjang 50 – 60 centimeter (duktus deferent). Setelah itu, bayi sperma yang sudah mulai “remaja” itu mulai masuk “trainning center (TC)” di ductus ejaculatorius menjadi sel sperma siap pakai (spermatozoa) yang kemudian menembus kelenjar prostat. Kelenjar otot ini bekerja keras menyiapkan bekal makanan bagi ratusan juta sperma agar bisa bertahan hidup selama mengembara di liang milik wanita nantinya.

Mereka sudah siap untuk mengikuti pengembaraan ekstrim dalam wahana wanita, sama halnya dengan pertempuran hidup mati. Dalam perebutan sel telur nantinya, sudah pasti ratusan juta sperma akan “gugur” di medan laga. Padahal, ribuan batalyon spermatozoa ini dibekali “baju pelindung” keasaman (derajat keasaman 8,3) agar mampu bertahan hidup dalam rahim wanita yang memiliki derajat keasaman (PH) 4.

Bekal yang dibawa sel pembawa kode kehidupan ini demikian hebatnya. Dalam pelajaran biologi, susunan sel yang punya panjang sekitar 5 – 7 mikron (seper sejuta meter) ini terbagi tiga bagian, yakni bagian ekor, tengah (badan), dan kepala. Ekor berfungsi sebagai pendorong agar mampu “berenang” jauh. Sementara, mitokondria yang berada di dalam bagian tengah tubuh berfungsi menyuplai energi agar gerakan ekor tak loyo selama perjalanan.

Bagian kepala berisi informasi penting bagi cikal bakal kehidupan selanjutnya. Di situ tersimpan nukleus berisi kromosom yang mengandung DNA, sebuah kode pertumbuhan cikal bakal calon manusia, dan “helm” pelindung kepala bernama akrosom. Bagian kepala ini juga memiliki enzim yang berguna untuk menembus sel telur. Intinya, setiap sel sperma yang jumlahnya ratusan juta ini, punya potensi menjadi manusia.

Dan, ketika “dimuntahkan” dari gerbang kehidupan (uretra), ratusan juta cikal bakal bayi manusia itu memulai pengembaraannya selama beberapa jam. Bayangkan, dalam setiap mililiter cairan sperma, ada sekitar 60 – 120 juta spermatozoa, sedangkan setiap cairan yang dimuntahkan kira-kira sebanyak 3,5 mililiter. Jadi, beberapa tetes cairan ini mengandung ratusan juta spermatozoa siap tempur—mengalahkan populasi penduduk Indonesia hanya dalam sekali “semprot”.

Pengembaraan hidup mati dimulai di sini. Tapi, tak gampang memulai perjalanan. Tak ada marka jalan atau rambu lalu lintas sebagai penunjuk di situ. Tak pun ada deretan lampu jalan sebagai penerang gulita. Naluri untuk bertahan hidup adalah satu-satunya senjata bagi para sperma untuk melanjutkan perjalanan dengan bahaya mengintai di depannya.

Mula-mula, ratusan juta sperma ini harus mencari aliran lendir alami (lendir serviks) yang dapat membawa mereka dari “liang” ke mulut rahim. Oh, tak semua sperma berhasil melaluinya. Ada kalanya ratusan ribu sperma gugur pada medan pertempuran perdana ini. Pada beberapa kasus, sperma bahkan dinetralkan oleh antibodi wanita atau oleh lendir serviks yang “hostile” (antisperma).

Maklum, ribuan batalyon sperma ini secara alami dianggap sebagai “benda asing” oleh tubuh wanita yang secara otomatis langsung memproduksi antibodi antisperma. Antibodi inilah yang “membunuhi” sperma-sperma yang lewat. Yang punya kemampuan hebatlah yang berhasil lolos dan mampu melanjutkan perjalanan. (Sekali-kali, mungkin kita bisa menyaksikan simulasi perjalanan sperma menuju sel telur dalam film dokumenter berjudul “The Great Sperm Race” dari channel4.com. Melalui tayangan itu bisa dibayangkan, bagaimana perjuangan panjang sperma menempuh bahaya).

Setelah berhasil melewati leher rahim (serviks uteri), sperma berenang di dalam rahim (uterus) sampai ke muara saluran sel telur (tuba fallopi). Jika ia tidak segera tiba di sana dalam beberapa jam, sebagian besar akan berakhir mati. Karena, suplai “bahan bakar” dari mitokondria untuk menggerakkan ekor hanya sanggup bertahan untuk beberapa jam. Pun sperma-sperma yang “kelelahan” tak akan sanggup melanjutkan perjalanan selama berenang di saluran sel telur—akhirnya gugur juga.

Sampai di saluran sel telur, hanya tinggal separuh yang tersisa. Di sini, naluri dan insting kembali menjadi senjata untuk bertahan hidup. Sperma yang bisa mengambil keputusan yang tepatlah yang bisa bertemu sel telur.

Setiap bulan wanita hanya memproduksi sebutir sel telur. Sementara, saluran sel telur (tuba fallopi) itu ada dua, dan tidak tentu saluran mana yang berisi telur matang itu. Keputusan untuk menentukan “kiri” atau “kanan” menjadi sangat penting. Apabila sperma memilih saluran yang salah, berarti perjalanannya akan sia-sia karena “bahan bakar” yang dimiliki hanya cukup untuk menjelajah satu saluran. Nah, sebagian memilih “kiri”, sebagiannya lagi memilih “kanan”. Salah arah, sudah dipastikan gugur.

Bila si sperma beruntung, ia masuk ke saluran telur yang benar. Tapi, memilih jalur yang benar pun butuh pengorbanan. Yang ulet yang selamat. Selama menempuh perjalanan, bulu-bulu getar bak “semak belukar” yang terdapat pada saluran sel telur ikut “menyaring” sperma. Yang tak tangguh sudah pasti akan keok.

Eh, usai melewati “semak pembunuh” pun lagi-lagi tugas belum sepenuhnya selesai. Jika si wanita berada dalam kondisi subur, sel telur sudah matang. Sperma siap untuk “membuahi”. Tapi, jika belum ada sel telur yang matang, para serdadu ini harus menunggu sampai sel telur matang. Dalam beberapa kasus, sperma sehat dapat bertahan di rahim sekitar 3 hari. Bisa sampai 5 hari pada sperma yang sangat kuat dan sehat, namun jarang.

Siapa yang “berhak” membuahi sel telur ini pun butuh persaingan ketat. Sperma-sperma yang tersisa akan saling berebut untuk menjebol dinding sel telur. Apa boleh buat, saling sikut pun terjadi untuk memperebutkan gelar juara. Bukan perkara gampang pula untuk melakukan penetrasi ini lantaran sel telur memiliki lapisan pelindung.

Walaupun setiap sperma punya akrosom untuk menetralisir lapisan pelindung tersebut, toh, tak semua sperma mampu menjebolnya. Maklum, “energi” setiap sperma sudah terkuras selama perjalanan panjang tadi. Apatah lagi, sel telur juga suka plih-pilih sperma mana yang layak untuk membuahinya.

Nah, dari sekian ribu sperma yang berebut tadi, hanya satu yang berhasil menembus dinding sel telur dan melakukan pembuahan. Tapi, tugas si sperma tangguh belum selesai sampai di situ. Dia harus menyiapkan “proses” pembentukan manusia. Nukleus yang berisi kromosom mesti “dikawinkan” dengan kromosom yang terdapat pada nukleus sel telur hingga terciptalah kode-kode kehidupan beserta karakternya—apakah nantinya manusia yang dilahirkan bertipe pemalu, pemarah, pecundang, penyayang, ataupun menjelma menjadi seorang yang hipokrit.

Setelah perkawinan kromosom selesai, selesai pulalah tugas si sperma. Pembuahan ini akan berkembang menjadi embrio—si cikal bakal bayi. Kemudian, 5 – 6hari kemudian, ia siap “pindah” dan melekat di dinding rahim. Saat embrio yang telah dibuahi ini implantasi di dinding rahim—selamat, ibu kita telah hamil, bahkan mungkin kita belum menyadarinya.

Perjalanan menuju kelahiran masih panjang. Pada kondisi normal, butuh 9 bulan 10 hari setelah sel telur dibuahi. Selama tumbuh kembang jabang bayi ini pun, risiko kematian masih terpampang—keguguran, misalnya. Selama kehamilan itu juga calon jabang bayi harus bertarung dengan berbagai potensi penyakit yang siap menghajarnya, atau mendapat asupan gizi jelek yang disedot dari tali pusar sang bunda.

Teng…pas sembilan bulan sepuluh hari, si jabang bayi siap nongol ke dunia. Di sini, butuh pertarungan lain lagi. Siapa bilang setiap proses kelahiran segampang nongkrong di toilet. Bagi sebagian orang, ada taruhan nyawa—pertarungan hidup mati.

Dan, tangisan panjang yang terdengar, menandakan satu kehidupan telah muncul ke dunia. Ianya akan tumbuh, menjadi besar, dan ikut menyesakkan bumi yang sudah penuh dengan populasi.

Tapi, ada kalanya, jabang bayi yang lahir dari sebuah pengorbanan panjang itu, kita temukan di pinggiran laut, di onggokan sampah, atau di semak-semak. Terbiar dan terlantar—bahkan ada yang sampai meregang nyawa. Tak sedikit pula, oleh suatu sebab, si jabang bayi ditewaskan sebelum sempat mampir ke dunia. Dan, ada pula, ketika si jabang bayi tumbuh besar, dia sering diserapahi sebutan “bodoh”, “bloon”, “tak berguna”, dan panggilan hodoh lainnya.

***

Berkaca dari proses awal mula kelahiran manusia itu, kita semua diyakinkan bahwa Tuhan telah memilih kita—salah satu calon dari ratusan juta calon lainnya—untuk lahir ke dunia ini. Tentu saja tidak sembarangan Tuhan menentukan pilihan, bukan juga asal-asalan. Artinya, kita benar-benar sebagai yang terpilih untuk dilahirkan—berawal dari sperma yang paling tangguh dan lincah, bukan ratusan juta saudara kita yang gugur di dalam rahim. Ada suatu “rencana besar” kenapa kita telah ditakdirkan untuk lahir.

Jika sudah “terpilih”, tentu ada suatu kelebihan dari calon jabang bayi yang akan dilahirkan—apapun bentuknya, hanya saja tak semua orang tahu apa bentuk kelebihan itu. Dalam ilmu biologi, kita mengenal istilah kode genetik, yang sebagiannya dibawa oleh sperma dan separuhnya disiapkan sel telur.

Penyatuan kromosom yang dibawa sperma dan sel telur inilah yang membentuk sifat maupun bakat calon jabang bayi, yaitu kita—dan hebatnya, tak ada satupun kode genetik yang sama antarmanusia di bumi ni. Di antara sifat dan bakat tersebut, Tuhan juga “menitipkan” semacam keahlian, yakni kecerdasan (bukan kepintaran), kepada si jabang bayi untuk bertahan hidup di dunia. Karena, jika kepintaran yang dititipkan, dampaknya mungkin akan "berbahaya" bagi dunia ini—pintar bohong, pintar nyontek, apalagi cuma pintar berkomentar.

Howard Gardner (1983) dalam bukunya “Frames of Mind” mengemukakan, kecerdasan merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, menciptakan produk yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan budaya masyarakat. Menurutnya, ada delapan kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dalam diri manusia, tergantung yang mana di antara kecerdasan itu yang berkembang, dan bagaimana kecerdasan itu dikembangkan.

Delapan kecerdasan itu di antaranya: kecerdasan berbahasa (verbal-linguistik), kecerdasan logika/matematis (logical – mathematical), kecerdasan spasial (visual-spatial), kecerdasan kinestetik, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis. Oleh beberapa tokoh, ada dua kecerdasan lagi, yakni kecerdasan spiritual dan kecerdasan eksistensial.

Tulisan ini tidak akan membahas definisi masing-masing kecerdasan karena akan terlalu panjang. Seiring waktu, bisa saja para ahli akan menemukan kecerdasan-kecerdasan lain yang menjadi fitrah manusia ketika dilahirkan. Toh, belum semua manusia mengerti tentang “manusia”, karena “manusia” memang punya segudang misteri yang belum terpecahkan.

Bukan pemaparan masing-masing kecerdasan hakikat dalam tulisan ini. Penulis hanya ingin mem-forward informasi bahwa setiap manusia yang dilahirkan, pasti memiliki “suatu kelebihan” karena memang telah dipilih oleh Tuhan di antara ratusan juta saudara kembar.

Jika sudah demikian, masikah kita berpikir bahwa ada manusia yang tak berguna dilahirkan? Atau, masih adakah istilah kelahiran yang tak disengaja? Atau, masih adakah sebutan kelahiran yang tak diinginkan? Jika iya, apakah itu tidak melawan takdir Tuhan? Atau Tuhan salah memilih bibit?

Penulis maklum jika ada sebagian orang sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. It’s no problem. Hanya, perlu kita renungkan kembali bahwa seharusnya tidak ada kelahiran yang disia-siakan.

Bagaimana jika si anak lahir cacat, tidak normal, tidak pintar, tidak cantik, tidak ganteng, dan tidak tidak tidak lainnya yang sesuai dengan keinginan? Mari kita kembali ke kode genetik yang dibawa setiap manusia. Sudah jelas, tidak ada satu pun manusia yang memiliki kode genetik yang sama dengan manusia lain. Kembar identik sekalipun punya kode yang berbeda.

Nah, berbeda berarti tidak sama. Berbeda juga bukan seragam. Jadi, tidak perlu ada “penyeragaman” untuk memanusiakan manusia. Masing-masing punya kode genetik yang berbeda, masing-masing punya kecerdasan yang berbeda, dan masing-masing membutuhkan penanganan yang berbeda. Luar biasa, bukan? Bahwa Tuhan telah menciptakan manusia untuk selalu berpikir bagaimana memecahkan persoalan hidupnya. Dan, belum semua solusi itu ditemukan.

Jika Bank Dunia (World Bank) mencatat, lebih dari tujuh miliar manusia menghuni bumi ini, berarti perlu ada “tujuh miliar penanganan”. Bisakah? Tak perlu cemas. Manusia adalah makhluk yang berpikir karena dibekali akal. Seiring perkembangan waktu, manusia akan menemukan caranya.

***

Kembali kepada isu kecerdasan majemuk. Tidak gampang bagi setiap orang untuk menemukannya. Bagi sebagian manusia, kecerdasan itu masih tersembunyi hingga beranjaknya usia, sebagiannya lagi sudah terlihat ketika baru bisa merangkak. Yang dibutuhkan adalah bagaimana upaya agar kecerdasan itu bisa nyembul keluar dan berguna. Kita hanya butuh penanganan yang tepat.

Amstrong (2002) menyebutkan, kecerdasan tersebut merupakan modalitas untuk melejitkan kemampuan setiap anak dan menjadikan mereka sebagai sang juara, karena pada dasarnya setiap anak cerdas—apapun kondisi fisik dan mentalnya. Jika pun tidak, penanganannya saja yang belum tepat. Betul juga apa yang diucapkan Prof Yohanes Surya PhD, pakar fisika Indonesia, bahwa “tidak ada anak atau murid yang bodoh, hanya saja mereka tidak mendapatkan guru yang tepat”.

Ini memang jadi tantangan bagaimana manusia akan dikembangkan, bagaimana manusia yang lahir itu menjelma dan menjadi unggul sesuai fitrah saat proses mereka dilahirkan. Setiap kita menginginkan itu. Sayangnya, pilihan masih terbatas.

Tapi, itulah kita, sering lupa jika siapapun manusia dilahirkan dari bibit yang terbaik. Lupa dengan “restu” Tuhan sehingga kita bisa lahir. Lupa hingga sebagian kita menyia-nyiakan amanah dan anugerah. Dan—lupa bahwa sesunguhnya setiap kita terlahir sebagai juara tangguh. Yang pasti, apapun kekurangan yang ada, tinggal bagaimana amanah Tuhan ini disikapi. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun