Mohon tunggu...
Chairul Anwar
Chairul Anwar Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas

Ndoro kakung. Tua bukan berarti linglung. Kadang sedikit bingung kalau harga barang tiba-tiba membumbung. Tetap mengais walau belum berujung.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pilih Diperkosa atau Dipenjara?

7 Desember 2012   04:32 Diperbarui: 21 Agustus 2017   14:57 7458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1354863963869210907

[caption id="attachment_228052" align="aligncenter" width="280" caption="Ilustrasi/Admin (Tribunnews.com)"][/caption] INI cerita tentang seorang wanita yang dirundung duka. Niat untuk mencari sang suami berakhir ke penjara. Di jembatan Barelang Batam, Kamis dinihari pertengahan Mei 2012 silam itulah jalan hidupnya jadi berbeda. Ibu empat orang anak ini mengaku terpaksa membunuh orang yang hendak memperkosanya.

Alasan membela diri tak bisa diterima begitu saja. Hakim punya penilaian, si wanita masih punya kesempatan untuk melarikan diri ataupun berteriak minta tolong daripada menghunus pisau ke dada si pemerkosa.

Tak berbeda dengan kasus seorang wanita yang juga membunuh orang yang hendak memperkosanya, Jumat malam, seusai pulang dari pabrik di kawasan Tangerang, tempat dia kerja. Si wanita naik angkot tanpa curiga. Di situ tak ada penumpang lain selain dirinya. Mungkin karena sudah malam, tak ada penumpang, piker si wanita.

Eh, ternyata, sang supir malah menyetir entah ke mana. Angkot melaju ke daerah sepi nan gelap gulita. Di lokasi yang hampir tak terlihat ada manusia lain inilah sang supir yang sudah demikian konak, berniat menggagahi si wanita. Dengan sebilah belati di tangan, si sopir mengancamnya. Tapi, kondisi berbalik karena justru sang sopir tewas oleh belatinya.

Di pengadilan, si wanita tetap divonis penjara. Alasan membela diri juga tak serta merta bisa diterima. Kata bapak-bapak hakim, si wanita masih berkesempatan untuk melarikan diri atau berteriak minta tolong saat masih berada di angkot.

Dua kasus di atas bukan cuma isapan jempol belaka. Jalan hidup seseorang tak bisa disangka. Apalagi harus dijebloskan ke penjara karena seseorang harus mempertahankan kehormatannya. Seperti juga tenaga kerja wanita (TKW) yang membunuh majikan karena hendak diperkosa, sering menjadi berita di media.

Contoh kasus yang menimpa dua wanita di atas sering menimbulkan rasa penasaran, sejauh mana hukum bisa melindungi wanita yang hendak membela kerhormatan. Pengadilan menjadi ujung dari sebuah pembuktian akan kebenaran. Bagi Jaksa Penuntut, Pasal 338-350 KUHP (kejahatan terhadap nyawa) tetap menjadi rujukan. Dalam dua kasus tersebut, Pasal 338 KUHP bisa jadi pilihan. “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, begitulah dinyatakan.

Tentulah bapak-bapak hakim tidak gegabah menjatuhkan hukuman. Alasan penghapus pidana tidak bisa digunakan hanya karena belas kasihan. Dua wanita di atas jelas tak bisa lolos hanya karena ada Pasal 50 KUHP yang menjadi alasan pembenaran (rechtvaardigingsgrond). Wanita-wanita di atas jelas bukan algojo regu tembak terpidana mati yang menjalankan tugas atas perintah peraturan perundang-undangan.

Bukan juga dipakai Pasal 44 KUHP untuk menghapus tindak pidana yang dilakukan. Dua wanita tadi jelas bukan orang gila atau tak warasnya pikiran. Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) ini juga tak bisa diterapkan.

Hakim-hakim di pengadilan itu mencoba menelisik Pasal 49 ayat (1) KUHP tentang “pembelaan darurat”(nodweer). “Brangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”, begitu dalam KUHP tercatat. Tapi, penerapan pasal ini harus memenuhi tiga syarat.

Pertama, pembelaan diri yang berujung kepada tindak pidana itu dilakukan karena sudah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri. Kedua, pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan, dan barang diri sendiri atau orang lain. Ketiga, harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.

Sayangnya—menurut bapak-bapak hakim—penerapan Pasal 49 ayat (1) KUHP kepada kedua wanita tadi kurang memenuhi syarat. Penilaian hakim, wanita-wanita ini masih punya jalan lain untuk selamat. Kedua wanita itu masih bisa berteriak minta tolong atau melarikan lari dari pelaku laknat.

Yang menjadi pertanyaan, di tempat yang sepi dan jauh dari keramaian, apakah mungkin akan ada pertolongan? Apakah sanggup sang wanita melarikan diri dari kejaran pria yang sudah beringasan? Masih sempat berpikir jernihkah seorang perempuan dalam kondisi yang demikian? Akan sangat berbeda kondisinya jika wanita yang menjadi korban sudah demikian terlatih dan berpengalaman menghadapi serangan. Tapi, kedua wanita di atas bukanlah “Super-girl” atau “Wonder Woman”. Mereka cuma perempuan-perempuan biasa yang tak berlimpah keajaiban.

Kasus-kasus tersebut, mungkin bisa menjadi bahan renungan kaum perempuan, atau tokoh dan pejabat yang terlibat dalam perlindungan dan pemberdayaan perempuan, bahwa kekerasan seksual terhadap kaum perempuan sudah demikian mengkhawatirkan. Dalam catatan tahunan, sepanjang tahun 2011, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menerima tak kurang 4.377 kasus kekerasan seksual dari total 119.107 kasus yang dilaporkan. Jika dirata-rata, ada 12 orang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dalam seharian!

Malah, dalam kurun tiga belas tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan.Sebanyak 93.960 kasus kekerasan seksual terjadi dari total 400.939 kasus kekerasan yang dilaporkan. Artinya, ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual dalam seharian!

Mari simak catatan Komnas Perempuan lainnya. Dari total kasus kekerasan seksual sebanyak 93.960 kasus, hanya 8.784 kasus yang datanya terpilah. Sisanya adalah gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Dan, perkosaan merupakan kasus yang paling banyak terjadi, yakni 4.845 kasus, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (1.359 kasus), pelecehan seksual (1.049 kasus), penyiksaan seksual (672 kasus), dan eksploitasi seksual (342 kasus).

Dari data Komnas Perempuan tahun 2011 tersebut, kasus perkosaan masih dominan. Berkaca dari kasus dua perempuan di atas tadi, hukum di Indonesia seolah-olah hanya “mengimbau” kepada kaum perempuan untuk selalu “defence” tatkala akan menjadi korban perkosaan. Pasal 49 ayat (1) KUHP yang bisa “membebaskan” kaum hawa dari tindak pidana pemerkosaan, hampir jarang sekali bisa diterapkan. Apapun alasannya, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, tetap harus menjadi para hakim yang bersidang di pengadilan.

Bagi kaum perempuan yang selalu menjaga kehormatannya, diperkosa menyebabkan trauma yang tiada tara—bahkan seumur hidup akan sulit dilupa. Tapi, “menaklukkan” pelaku perkosaan hingga menyebabkan hilangnya nyawa, juga tak langsung bisa lega. Tuntutan hukum dalam Pasal 338 KUHP tidak tanggung: 15 tahun penjara. Hanya pertimbangan bapak-bapak hakim sajalah yang bisa “sedikit” meringankan hukumannya.

Jika kondisinya memang seperti itu, kaum perempuan akhirnya hanya dihadapkan kepada dua pilihan: pilih diperkosa atau dipenjara? (*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun