Selanjutnya dijelaskan mengenai Hubungan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung. Di bagian ini dijelaskan bahwa keterkaitan antara peradilan agama dengan Mahkamah Agung semakin tampak jelas setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Melalui undang-undang ini, ditegaskan bahwa semua lembaga peradilan, termasuk peradilan agama, berada di bawah bimbingan dan pengawasan Mahkamah Agung sebagai puncak lembaga peradilan di Indonesia. Posisi ini menunjukkan adanya satu kesatuan sistem peradilan nasional yang bersifat berjenjang, di mana Mahkamah Agung bertindak sebagai pengawas utama atas keputusan dan administrasi peradilan agama. Penulis menekankan bahwa dengan pengaturan tersebut, peradilan agama tidak lagi berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari struktur kekuasaan kehakiman nasional. Meskipun begitu, bagian ini juga mencatat bahwa dalam prakteknya, koordinasi dan pelaksanaan bimbingan dari Mahkamah Agung belum sepenuhnya terdengar efektif, sehingga peran peradilan agama masih menghadapi berbagai tantangan dalam hal konsistensi dan pelaksanaan kewenangannya.
Lahirnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Indonesia. Dalam bab ini dibahas mengenai proses terbentuknya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dicanangkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Penulis mengungkapkan bahwa dorongan untuk menyusun KHI berawal dari keinginan untuk menyatukan landasan hukum yang dipakai oleh hakim dalam peradilan agama. Sebelum adanya KHI, keputusan hakim cenderung tidak konsisten karena merujuk pada berbagai kitab fikih yang berbeda-beda. Dengan hadirnya KHI, pemerintah berupaya memberikan pedoman yang uniform, sehingga praktik peradilan agama memiliki dasar hukum yang lebih tegas dan harmonis. Penulis juga menegaskan bahwa proses penyusunan KHI melibatkan ulama, akademisi, dan praktisi dalam bidang hukum Islam, sehingga isi KHI merupakan hasil kesepakatan antara prinsip-prinsip hukum Islam klasik dan kebutuhan hukum yang ada di tingkat nasional. Terbentuknya KHI ini menjadi momen penting yang menguatkan posisi peradilan agama serta menegaskan peranan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia.
Pada bab selanjtnya membahas posisi hukum dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang menetapkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman dalam pengadilan agama. Penulis menjelaskan bahwa meskipun secara resmi hanya berupa instruksi presiden yang memiliki kedudukan lebih rendah dibanding undang-undang, dalam kenyataannya, KHI dianggap sebagai sumber hukum utama oleh para hakim. Ini disebabkan karena KHI dapat memenuhi kebutuhan untuk menyatukan hukum Islam di pengadilan dan mempermudah hakim dalam memberikan keputusan yang konsisten. Penulis juga menekankan bahwa keberadaan KHI mencerminkan adanya kebijakan politik hukum yang mendukung peradilan agama, meskipun dari segi teori perundang-undangan, instruksi presiden tidak dianggap sebagai produk hukum yang ideal untuk dijadikan dasar normatif. Dengan begitu, bab ini menegaskan bahwa keberadaan KHI lebih kuat dalam praktik dibandingkan secara formal, karena diterima dan digunakan secara luas dalam sistem peradilan agama di Indonesia.
Dalam buku ini juga dibahas secara detail mengenai tata organisasi peradilan agama serta area kewenangannya. Penulis menjelaskan bahwa peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama yang berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama yang mengurus tahapan banding, keduanya berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Dalam hal kewenangan relatif, peradilan agama hanya menangani kasus-kasus yang melibatkan individu yang beragama Islam, sedangkan kewenangan absolutnya mencakup bidang-bidang tertentu seperti pernikahan, warisan, surat wasiat, pemberian hadiah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah. Penjelasan dalam bab ini menekankan bahwa batasan tersebut memberikan kejelasan sekaligus perbedaan antara peradilan agama dan peradilan umum. Di samping itu, pengaturan mengenai struktur dan kewenangan ini memperkuat legitimasi peradilan agama sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem hukum nasional, serta memastikan bahwa fungsinya tetap sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim di Indonesia.
Penulis menjelaskan berbagai jenis sumber hukum yang digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus di peradilan agama sebagaimana yang dijelaskan dalam bab 13. Sumber utama berasal dari ajaran Islam seperti Al-Qur'an, Hadis, ijma', dan qiyas, yang kemudian dipadukan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, keputusan hakim sebelumnya juga berfungsi sebagai panduan penting untuk menjaga konsistensi dalam keputusan. Penulis menekankan bahwa beragam sumber hukum ini mencerminkan karakteristik unik peradilan agama yang mengintegrasikan norma agama dengan sistem hukum nasional. Melalui gabungan ini, peradilan agama dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan syariat serta sejalan dengan kerangka hukum negara.
Pada bab akhir buku ini, penulis membahas beragam jenis tindakan hukum yang tersedia dalam sistem peradilan agama. Dijelaskan bahwa individu atau pihak yang tidak setuju dengan keputusan hakim dapat mengambil langkah hukum biasa, seperti mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama, maupun langkah hukum luar biasa, seperti melakukan kasasi ke Mahkamah Agung atau permohonan peninjauan kembali. Selain itu, bab ini juga menjelaskan syarat-syarat dan prosedur untuk mengajukan langkah hukum tersebut, termasuk batas waktu yang ditetapkan oleh undang-undang. Penekanan yang signifikan diberikan pada peran tindakan hukum, yaitu memberikan kesempatan bagi pihak yang merasa dirugikan untuk mendapatkan keadilan yang lebih adil, serta menjaga kualitas dan ketepatan keputusan pengadilan. Dengan kata lain, bab ini menegaskan bahwa mekanisme tindakan hukum adalah elemen penting dalam memastikan hak-hak para pencari keadilan di peradilan agama.
Setelah membaca buku "Peradilan Agama di Indonesia" karya Drs. H. A. Basiq Djalil, S. H. , M. A. , saya mendapatkan manfaat yang signifikan. Pertama, pemahaman tentang posisi dan fungsi peradilan agama dalam kerangka hukum nasional menjadi lebih terang, terutama yang berkaitan dengan sejarah, dasar hukum, dan wewenang yang dimilikinya. Kedua, pembaca bisa mengerti bagaimana peradilan agama menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan langsung dengan kehidupan orang Islam, seperti halnya pernikahan, warisan, wasiat, wakaf, dan juga ekonomi syariah. Informasi ini penting tidak hanya bagi para akademisi hukum, tetapi juga bagi praktisi dan masyarakat luas yang mungkin terlibat langsung dengan isu-isu tersebut.
Di samping itu, buku ini juga memberikan penjelasan praktis mengenai tatacara beracara di peradilan agama, termasuk prosedur pengajuan kasus, kekuasaan hakim, hingga cara-cara hukum yang dapat ditempuh. Hal ini membuat pembaca lebih siap saat berhubungan dengan lembaga peradilan agama, baik sebagai pihak yang berperkara maupun sebagai pendamping. Terakhir, buku ini juga menumbuhkan kesadaran bahwa peradilan agama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem hukum nasional, dan terus beradaptasi dengan perubahan masyarakat serta kebijakan hukum negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI