Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menghitung Harga Politis Daging Sapi Menjelang Lebaran

3 Juni 2016   13:34 Diperbarui: 3 Juni 2016   13:48 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : id.wikipedia.org

Presiden Joko Widodo berencana untuk menekan harga daging sapi pada puasa dan Lebaran kali ini hingga ke Level Rp 80.000 per kilogram. Selain mengimpor daging beku sebanyak 27.400 ton, pemerintah akan menambah kuota impor sapi bakalan pada tahun ini, menjadi 700.000 ekor. Semula, kuota impor sapi bakalan yang dirilis pemerintah pada awal tahun ini sebanyak 600.000 ekor. Itu artinya, kuota impor sapi bakalan ditambah sebanyak 100.000 ekor.

Sikap Pemerintah tersebut diatas mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat. Masyarakat yang “jarang” makan daging sapi bertepuk tangan, sedangkan Masyarakat “penikmat” daging sapi, tetap membeli daging sapi segar berharga Rp 120.000 per kilogram!

Pedagang di pasar menggerutu. Daging sapi segar yang dijual di pasar bakal tetap diatas Rp 100.000 per kg, karena harga sapi hidup relatif tinggi, yakni Rp 42.000-Rp 45.000 per kg. Peternak sapi lokal meradang karena biaya produksi dan kebutuhan hidup juga meningkat!

Pedagang membeli karkas di harga Rp 88.000 per kg. “Sudah pasti tak mungkin menjual daging sapi di bawah harga pembelian tersebut. Apalagi berdasarkan data Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) tahun sebelumnya, hanya 20% konsumen yang menyerap daging beku impor. Sedangkan 80% tetap memilih daging segar di pasar tradisional. Masyarakat hanya sesekali membeli daging sapi, itupun paling setengah kilogram. Jadi meskipun harganya lebih mahal, mereka tetap lebih suka membeli sapi segar.

Nah ini pertanyaan sangat pentingnya. kalau memang masyarakat tidak terlalu menggubrisnya, mengapa perilaku sapi jinak ini, pada saat tertentu, tiba-tiba bisa berubah menjadi liar? Seperti sudah suratan takdir, masalah klasik dan klise ini selalu berulang setiap tahun sejak jaman dahulu. Pelakunya adalah Para mafia daging sapi. Tentu saja mereka tidak akan melupakan jasa-jasa para pemangku kepentingan yang merestui aksi mereka tersebut.

Sebenarnya akar masalah utama dalam peternakan sapi adalah terbatasnya pasokan bibit dan bakalan sapi lokal, sehingga perusahaan feedloter mengalami kesulitan dalam pengadaan bakalan sapi dan ahirnya berdampak pada mahalnya harga daging sapi. Mengapa kita kekurangan bibit dan bakalan sapi lokal? Yah kita harus balik keatas lagi...


Dalam kondisi normal, hanya sapi jantan siap potong yang dijual. Namun karena “dikondisikan permintaan tinggi” maka sapi yang ukuran agak kecil dan sapi betina produktifpun dijual!  Biasanya harganya lebih murah dari sapi jantan, Tapi kini harganya melambung. Di beberapa daerah sentra penghasil susu seperti di Boyolali, Malang dan Cisarua Bogor ada beberapa peternak memotong sapi perahnya untuk mendapatkan keuntungan sesaat, karena harga daging lagi bagus.

Inilah penyebab utama populasi sapi lokal berkurang, lantaran sapi betina produktif banyak dipotong. Demikian juga produksi susu lokal akan berkurang karena indukannya dipotong. Jadi ini bahaya laten. Lama kelamaan kita akan makan daging impor dan susu impor.

Sapi betina produktif menghasilkan susu dan anakan. Apapun itu, sapi betina produktif tidak boleh dikorbankan untuk pasokan daging ke pasar.  Akan semakin besar nanti ketergantungan impor kita akan daging dan susu sapi dalam jangka panjang

Jumlah sapi lokal memang seperti “tuyul” dan sering diperdebatkan. Data di Kementerian Pertanian berbeda dengan hasil sensus peternakan BPS. Demkian juga data dari asosiasi, jumlahnya berbeda juga. Siapapun yang menerbitkan data tidak pernah akurat karena tidak ada Kartu Tanda Populasi (KTP) sapi. Tetapi satu hal yang pasti, sudah terlalu banyak sapi betina produktif kita yang berkurang, mungkin tidak sampai setengah dari data sapi yang tercatat.

Demikian juga data konsumsi daging sapi perkapita per tahun juga beragam, tergantung kondisi dan masing-masing pihak untuk kepentingan penerbit angka konsumsi. Indikasi penurunan populasi sapi lokal dari tahun ketahun sangat kelihatan, yaitu jumlah sapi lokal yang dipotong di Rumah Potong Hewan yang semakin menurun dan kini mayoritas diisi oleh sapi impor dari Australia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun