Sialnya teman-teman Hendra pun tidak ada pula yang mau meminjamkan celananya kepadanya. Untunglah ibu dokter itu bersedia meminjamkan celana basketnya kepada Hendra. Kebetulan celana itu tertinggal di mobil setelah dipakai ibu dokter main basket sehari sebelumnya.
Dengan celana pendek ketat berwarna oranye itu, Hendra kemudian dipapah temannya ke dalam mobil. Teman-teman Hendra kemudian sering bertandang ke Klinik dr. Mitha, sementara Hendra sendiri tidak pernah mau ikut. Rasa malu ternyata membuatnya tidak ingin bertemu lagi dengan dokter cantik itu.
Tetapi nasib berkata lain. Setahun kemudian mereka bertemu lagi. Ketika itu Mitha sedang melanjutkan pendidikannya dengan mengambil Program Spesialis Jiwa. Mereka kemudian jatuh cinta pada "pandangan kedua," lalu pacaran. Mereka kemudian membuat tato mawar dengan inisial HM pada bokong kanan mereka masing-masing sebagai tanda setia, sehidup semati. yang satu pengen hidup yang lain ogah mati.Â
Namun hubungan mesra itu akhirnya kandas juga. Mitha berkata kepada Hendra kalau ia merasa jenuh dengan hubungan mereka yang berjalan datar dan biasa-biasa itu saja. Mitha ingin mencari suasana baru. Entah itu melanjutkan pendidikan ke luar negeri, atau bekerja di kota lain saja. Terlalu banyak membaca teori "Sigmund Freud dan Nietzsche" mungkin membuat Mitha jadi bingung.
Bagi Hendra perpisahan itu teramat berat. Meruntuhkan harga diri dan menggoncangkan keseimbangan "Yin dan Yang" di dalam tubuhnya. Apalagi Mitha kemudian raib begitu saja seperti ditelan bumi. Nalar dan perasaan lalu bercampur aduk menjadi satu. Realita dan Ilusi menjadi susah dibedakan, sampai kemudian terjadi kecelakaan mobil yang membuatnya gegar otak!
Namun Hendra tidak mau menyerah. Hidup harus terus berjalan. Itulah yang dilakukannya bersama dr. Andre dalam dua tahun terakhir ini, yaitu merajut kembali memori-memori yang tercerabut tersebut satu persatu agar bisa menjadi sebuah cerita utuh untuk memudahkan dirinya menata hidupnya kelak.
***
"Mas, mas..." suara dr. Mitha membuyarkan lamunan Hendra.
"Aduh, maaf ya dok, frasa kehidupan sebelumnya itu membuat saya cemas, jangan-jangan saya itu dulunya adalah kambing atau lipan," jawab Hendra sekenanya.
"Mas, Bhuddist ya?" tanya dr. Mitha lagi sambil tersenyum geli.
"Bukan, saya ini seorang atheis. Soalnya kadang-kadang saya suka lupa, hari apa saja saya bertugas jadi tuhan."