Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

New Normal Jangan Dilihat dari Hitam Putih Saja

4 Juni 2020   15:49 Diperbarui: 4 Juni 2020   15:52 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemeriksaan suhu tubuh, sumber: Tribun News

Pemerintah akhirnya mulai melonggarkan PSBB setelah Kementerian Kesehatan menerbitkan protokol new normal dalam menghadapi pandemi Covid-19, seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri yang akan mulai dibuka secara terbatas.

Kebijakan ini kemudian menuai pro-kontra. Bagi pendukung (Pro) kebijakan ini dianggap tepat karena hidup memang harus jalan terus dan warga tak mungkin hanya bertahan terus di rumah.

Sedangkan yang Kontra merasa kebijakan ini terlalu cepat dilaksanakan mengingat grafik penyebaran Covid-19 belum juga melandai, plus vaksin  Covid-19 ini juga belum berhasil dibuat secara massal.

Uniknya pendukung pro-kontra justru memiiki sifat yang saling bertolak belakang. Ketika Pemerintah menerapkan PSBB, mereka ini justru meminta lockdown! Sebagiannya lagi justru mengkritik PSBB dengan alasan rakyat mau makan apa kalau usaha ditutup.

Ketika sebagian usaha mulai dibuka secara terbatas, mereka ini teriak lagi, apa rakyat mau dibunuh?  karena angka penderita Covid-19 nantinya pasti akan melonjak ketika bisnis berjalan normal. Intinya mereka mau tetap PSBB.

Bagi penulis pribadi, makna new normal ini memang sedikit membingungkan. Apakah kehidupan nantinya akan normal kembali? Rasanya tidak, walaupun tentunya hidup harus jalan terus.

Rasanya "new life" atau "hidup baru" mungkin lebih tepat daripada new normal.

Ilustrasinya seperti kehidupan teman saya, sebut saja namanya Budi.

Suatu ketika Budi mengalami kecelakaan dengan sepeda motornya. kakinya patah, nyaris hancur, dan kemudian dia dioperasi. Satu tahun dia harus pakai kruk dengan pen yang tertanam di kakinya.

Kaki patah itu tentu saja membuat perubahan besar bagi Budi. Mulai dari posisi tidur, mandi dan bekerja. Setelah sembuh, Budi kemudian menjalani kehidupan new normal kembali seperti sediakala.

Sepuluh tahun kemudian, Budi kembali mengalami kecelakaan ketika mengendarai mogenya (motor gede) Namun kali ini Budi apes, kaki kirinya harus diamputasi. Budi kini harus memakai kaki palsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun