Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Diary" Dokter Cinta (Bagian 17)

16 Desember 2017   10:57 Diperbarui: 16 Desember 2017   11:02 1181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Kata Kata Bijak

Aku lama menatap pho-pho (nenek) Lenny ini. Usianya sudah 87 tahun menurut penanggalan Tionghoa atau berumur sekitar 86 tahun menurut ukuran umumnya. pho-pho terbaring lemah, sudah dua hari tidak mau makan. Dia hanya menatapku dengan pandangan sayu ketika aku memegang dan mengelus-elus tangannya. "Makan ya pho.." kataku sambil memegang mangkok buburnya. Tapi nenek itu hanya tersenyum tipis sambil menatapku sayu..

Pasien kunjunganku memang kebanyakan nenek-nenek. Sebagian dari mereka ini malah menyebut aku adalah "pacarnya," termasuk pho-pho ini juga. Nenek Lenny adalah pasien kunjunganku yang pertama. Nenek ini menjadi spesial bagiku, karena pada saat mengunjunginyalah aku mendapat musibah jatuh dari motor, tetapi kemudian malah kecantol dengan cucunya. Aku rutin mengunjunginya setiap minggu, bahkan terkadang dua tiga kali seminggu, sekalian untuk menarik simpati cucunya...

Ada empat orang nenek disekitar rumah pho-pho ini yang menjadi pasien tetapku. Umumnya mereka ini sudah sepuh dan kesulitan berjalan kaki atau naik motor kalau hendak berobat ke puskesmas atau ke praktik. Jadi kalau mereka sakit, mereka cukup mengatakannya kepada tetangga atau tukang sayur. Nantinya mereka itulah yang mengabarkannya kepadaku, kemudian aku akan mengunjungi mereka.

Perihal kunjungan rutin ke rumah pasien ini, hampir semua TS (Teman Sejawat) dokter menertawakanku. "perbedaan baik dan bloon itu memang hanya setipis rambut" canda Ridwan ketika itu. Itu karena mereka melayani pasien hanya ditempat praktik saja. Bahkan ditempatku, dokter puskesmas sebelumnya tidak pernah membuka praktik...

Tapi aku punya pertimbangan tersendiri. Ditempatku warganya masih memegang tradisi yang kuat, mereka sangat menghormati orangtuanya. Jadi kalau aku mengurus seorang nenek, maka seluruh keturunannya hingga cucu-cucunya menghormatiku, bahkan hingga keturunannya yang berada diluar kota. 

Itulah yang membuatku sangat nyaman tinggal di desa ini, dan tidak ada seorangpun yang pernah menggangguku. Dulu pernah ban mobil kempes dijalan. Lalu aku ditolong seorang warga yang tak kukenal. Ternyata neneknya adalah pasien tetapku.

Aku baru tahu kalau dua minggu lalu pho-pho baru keluar dari rumah sakit. Ketika itu aku masih dirawat di rumah sakit juga. Obat asma dan oksigennya sudah habis, tetapi nenek tidak mau berobat ke dokter lain karena berharap akan kedatanganku. Ketika asmanya kambuh barulah nenek segera dilarikan ke rumah sakit. Nenek kemudian membenciku karena merasa tidak kuperdulikan. Papa Lenny kemudian menjelaskan keadaanku di jakarta, barulah sinenek mengerti.

Sudah lebih dari dua jam aku dikamar pho-pho.Aku kemudian memeriksa vital sign (Tanda-tanda vital) pho-pho sekali lagi. Tekanan darah dan denyut jantungnya sudah melemah. Aku merasa waktu sinenek sudah dekat... Aku lalu memberitahukannya kepada Lenny, yang kemudian segera keluar dari kamar. 

Kini tinggal aku berdua dengan pho-pho. Aku lalu berbisik ditelinganya, "pho.. kita pacarannya putus ya, karena aku sudah pacaran sama cucu pho-pho. Sekalian aku minta restu pho-phountuk menikahi Lenny ya pho.." Aku lalu mencium keningnya.

Aku yakin pho-pho mendengar suaraku. Aku lalu menatapnya. Dia juga menatapku. Aku melihat sebuah garis senyuman di bibirnya, lalu dua butir air mata dipelupuk matanya. Lewat sebuah tarikan nafas pelan, lalu semuanya senyap. Mata itu tidak bergerak lagi. 

Aku lalu mengeluarkan senterku dan menyinari mata itu. Pupil matanya tidak merelaksasi lagi terhadap cahaya. Nadinya tidak teraba, nafasnya menghilang, tensinya juga. Aku kemudian mencium keningnya sekali lagi, goodbyepho-pho.Aku kemudian mencatat waktu kematian pho-pho...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun