Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Polemik Kasus Novel Baswedan

21 Juni 2017   08:12 Diperbarui: 22 Februari 2018   16:46 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Baswedan saat ditemui di Singapura, Kamis (2/11/2017). (Kompas.com/Amir Sodikin )

Kasus penyerangan dengan air keras terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan sudah memasuki bulan ketiga, tanpa ada tanda-tanda akan terungkapnya penyerang dan dalang dibalik kasus penyerangan ini. Setelah lama terpinggirkan, kasus ini kembali mencuat setelah Novel dalam keterangannya kepada sebuah media di Singapura mengatakan bahwa ada seorang Jenderal dibalik kasus penyerangan terhadap dirinya yang membuat kasus ini sulit untuk diungkapkan secara cepat dan transparan.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian segera merespon dengan cepat pernyataan Novel tersebut dengan mengunjungi kantor KPK untuk membahas permasalahan ini dengan komisioner KPK. Akhirnya disepakati, Polisi dan KPK akan berangkat bersama-sama ke Singapura untuk meminta informasi yang lebih lengkap dari Novel perihal keterkaitan “sang Jenderal” dalam kasus penyerangan Novel ini.

Kasus Novel ini memang sangat menarik. Bukan karena rumitnya kasusnya, tetapi karena kasusnya terlalu “sederhana.” Tapi itulah yang membuatnya menarik. Mari kita simak kasus ini dengan cara orang awam memandang suatu persoalan, dengan pola pikir yang sederhana saja, tanpa memakai teori Polisi atau KPK.

Pertama, Motif.

Ketika orang menyerang dengan air keras, tentu lebih mudah untuk memahami motif dibalik penyerangan itu, bila dibandingkan dengan pemakaian senjata api atau senjata tajam misalnya. Serangan itu bukanlah untuk membunuh, tetapi untuk menyakiti/melukai secara permanen dengan meninggalkan bekas, yang juga merupakan suatu pertanda. Dalam hal ini, bisa saja karena unsur sakit hati terhadap Novel dalam beberapa kasus yang ditanganinya dulu, maupun agar Novel menghentikan “kasus-kasus” yang sedang ditanganinya sekarang. “kasus-kasus,” maksudnya, karena saya tidak ingin terfokus ke satu kasus e-KTP saja.

Mengapa Novel tidak langsung dibunuh, misalnya dengan senjata api? Sepertinya sang dalang ingin Novel tetap dapat mengikuti perkembangan cerita selanjutnya, dimana sang dalang dapat menunjukkan superioritasnya (dalam kasus mereka) kepada Novel sendiri. Tentu dalam hal ini, sang dalang sangat yakin bahwa polisi tidak akan “dapat/mau” untuk mengungkap kasus penyerangan ini terkait motif maupun alibi yang kuat dari sang dalang. Dari uraian sederhana diatas, Novel dapat mempersempit daftar nama dalang yang ingin menyakitinya.

Sumber foto : suara.com
Sumber foto : suara.com
Pemilihan air keras ini memang sangat khas makna filosofinya dengan karakter Novel dan dalang dari penyerangan itu sendiri. Kenapa Novel tidak diserang dengan senjata tajam atau pistol yang lebih simpel misalnya, tentulah ada pertimbangannya. Unsur kebenciansangat tinggi terlihat. Jadi penyerangan ini sangat pribadi sifatnya. Pemilihan tempat dan waktu penyerangan juga tentu harus disesuaikan dengan alat untuk menyerang itu sendiri.

Di internal KPK dan dimata publik, reputasi Novel harum dalam pengungkapan banyak kasus kelas berat. Novel tegas dan tidak pernah takut dalam menjalankan tugasnya, bahkan termasuk ketika berhadapan dengan para petinggi Polisi, institusi dimana Novel sendiri dibesarkan. Dimata kepolisian tempat Novel berasal, Novel jelas termasuk kategori “tengil dan tak tahu diri!” Itu memang bukan salah Novel sendiri karena KPK itu memangtempat berkumpulnyaorang-orang tidak tahu diri!”

Kasus Pansus Hak angket KPK adalah bukti nyata ketidak tahu dirian KPK yang hendak “menjerumuskan” para anggota dewan yang mulia dalam kasus korupsi e-KTP. Padahal justru DPR sendirilah yang memilih para komisioner yang “kurang tahu diri” itu. Bisa jadi penyerangan terhadap Novel ini merupakan pertanda juga bagi para penyidik KPK lainnya....

Kedua, Air keras

Pemilihan air keras ini juga dipakai “dalang” dan “pelaksana lapangan” untuk mengaburkan motifdan identitas pelaku dari penyerangan itu. Pistol bisa diuji balistik dan kalibernya. Polisi akan segera saja bisa memastikan asal-usul dari pistol itu, apakah senjata organik, non organik atau rakitan, dengan demikian akan mudah melacak sumber yang akan menuntun kepada pelaku penyerangan dan dalangnya. Senjata tajam seperti pisau atau golok misalnya adalah senjata khas para preman “tukang tikam!” Tidak sampai seminggu, rumor akan terdengar di terminal, kawasan preman atau lokalisasi, perihal aktifitas “tikam menikam” di seantero Jabodetabek.

Polisi juga selalu mengandalkan preman (informan lapangan) untuk pengungkapan suatu kasus. Jadi setiap kejadian “kriminal biasa/wajar”, pasti akan bisa dimonitor oleh polisi. Itulah sebabnya maling ayam pasti akan cepat tertangkap. Seperti halnya google map yang memetakan lokasi, dunia kriminal juga memetakan para pelaku dan jenis kejahatan berdasarkan zonasi wilayah. Ketika terjadi “perpindahan aset” (ayam) dari satu wilayah ke wilayah lainnya, maka hal itu akan termonitor dengan baik. Ketika polisi tidak merespon, maka “perpindahan” itu akan menjadi legal. Dan sebaliknya, ketika polisi merespon, maka sang maling akan apes, berakhir di hotel prodeo...

Para penyerang itu tentulah orang-orang profesional. Itu karena serangan tersebut berhasil mengenai target. Mereka juga berhasil kabur secepatnya, dan mereka tidak (belum) dapat diidentifikasi. Polisi tentu saja mempunyai banyak daftar nama penyerang profesional, tetapi mereka itu umumnya memakai pisau, clurit, golok atau senjata api dalam bekerja. Ketika salah satu dari mereka memakai air keras “dalam bekerja,” polisi kehilangan ide untuk mengungkapnya! Ini memang termasuk KLB (Kondisi Luar Biasa) bukan termasuk “kriminal biasa/wajar” sehingga sulit untuk dilacak.

Ketiga, Sikap profesional Polisi.

Kasus ini sudah berjalan lebih dari dua bulan tanpa ada tanda-tanda kejelasan. Tentu saja wajar kalau Novel dan masyarakat meragukan keseriusan polisi untuk mengungkap kasus ini. Kasus sekuel “cicak buaya” tentu saja menambah bumbu penyedap Novel menyebut nama Jenderal dalam kasus ini. Sepertinya kasus hukum ini sudah menyerempet ke ranah politik! Sehingga ada dugaan polisi terkesan “maju-mundur” menangani kasus ini.

Ketika Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengunjungi kantor KPK untuk membahas kasus Novel ini, keraguan pun semakin mencuat. Kasus Novel ini adalah kasus kriminal yang bisa dan biasa ditangani oleh Polsek atau Polres. Mengapa sampai harus Kapolri sendiri yang menanganinya? Sinyalemen Jenderal oleh Novel ini semakin menguat karena sepertinya seorang Kapolda juga terlihat kesulitan mengungkap kasus ini dengan cepat. Sepertinya Kapolri akan membentuk sebuah Tim khusus yang langsung bertanggung jawab kepadanya untuk menangani kasus Novel ini. Semoga semuanya cepat terungkap, dan kesehatan Novel Baswedan segera dipulihkan oleh-Nya, Amin.

Reinhard Hutabarat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun