Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sambangan Anak, Ngaji Gus Baha dan Menteri Koboi di Kudus

3 Oktober 2025   23:17 Diperbarui: 3 Oktober 2025   23:17 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelataran Masjid Menara Kudus | dok.pri

Perjalanan ke Kudus kali ini terasa berbeda. Tidak sekadar sambang anak di pondok, tetapi juga menyelipkan agenda ruhani sekaligus menyaksikan dinamika sosial-ekonomi yang begitu nyata. Kudus, kota yang dikenal sebagai "Kota Santri" dan "Kota Kretek," benar-benar menampilkan dua wajah sekaligus: keheningan spiritual di masjid dan pondok pesantren, serta hiruk pikuk politik-ekonomi di ruang-ruang pemerintahan.

Agenda pertama adalah menyambangi anak di pondok. Seperti biasa, ada rasa haru yang tak bisa ditahan setiap kali melihat wajahnya yang penuh semangat menapaki jalan ilmu. Rasanya sambil menatapnya, saya ikut diingatkan tentang arti perjuangan, tentang bagaimana generasi muda menempuh jalan panjang dengan kesabaran. Kudus bukan sekadar tempat ia menuntut ilmu, tetapi juga ruang bertumbuh di antara doa, kitab, dan tradisi panjang keilmuan Islam.

Usai sambang, saya sempat hadir di pengajian Gus Baha di Masjid Menara Kudus, masjid bersejarah yang menjadi simbol keislaman Jawa yang akulturatif. Kali ini Gus Baha membahas Kitab Sahih Bukhari, tepatnya bab Manaqib alamat nubuwah hadis nomor 3601. Beliau bercerita tentang keutamaan sahabat Anshar dan Muhajirin. Gus Baha, dengan gaya khasnya yang sederhana namun dalam, mengurai makna pengorbanan, keikhlasan, dan persaudaraan para sahabat.

Yang paling membekas adalah penekanan beliau tentang pentingnya memiliki mental yunfiqun (mental pemberi) bukan mental yunfaqun (mental peminta). Pesan ini seakan mengetuk keras hati saya. Di tengah dunia yang makin materialistis, betapa sulit menjaga diri untuk tetap ikhlas memberi tanpa berharap balasan. Pesan ini bukan hanya relevan untuk kehidupan pribadi, tetapi juga untuk kehidupan sosial dan kebangsaan: bahwa negara, masyarakat, dan individu akan lebih kuat jika dijiwai semangat memberi, bukan sekadar menuntut.

Selepas pengajian di Masjid Menara Kudus, pengajian Gus Baha setelah Asar berlanjut di Pondok Pesantren Mazroatul Ulum Damaran, salah satu pesantren besar di Kudus. Lagi-lagi nuansa keilmuan begitu terasa, seakan Kudus memang menyimpan energi spiritual yang tak habis-habis. Saya merenung, bahwa sambangan anak tidak hanya menguatkan ikatan keluarga, tapi juga menjadi sarana menyegarkan iman dan wawasan. Kudus, dalam hal ini, memberi saya hadiah ganda: bertemu anak, sekaligus bertemu ilmu.

Namun menariknya, pada saat yang sama, di Masjid Agung Kudus juga ada momen lain. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, sedang berkunjung. Beliau dikenal sebagai "Menteri Koboi," bukan karena gaya pistol di pinggang, tetapi karena kebijakan-kebijakannya yang kerap mengejutkan dan dianggap berani.

Kali ini, kunjungan beliau terkait dengan usaha dan petani tembakau. Kudus memang tak bisa dipisahkan dari tembakau dan kretek, dua hal yang telah membentuk wajah ekonomi dan budaya masyarakatnya. Menteri Purbaya berdiskusi dengan para petani mengenai berbagai persoalan: dari harga tembakau, regulasi, hingga soal pajak. Yang paling disorot adalah kebijakan tidak menaikkan cukai rokok tahun ini, serta janji tak ada lagi kenaikan pajak yang memberatkan.

Bagi para petani, keputusan ini ibarat oase di tengah gurun. Setelah sekian lama merasa terhimpit oleh regulasi dan pajak, mereka mendapat angin segar. Tentu, kebijakan ini tidak lepas dari kontroversi. Ada pihak yang menganggap kebijakan itu populis, ada pula yang menyebutnya hanya menunda masalah kesehatan publik. Tetapi di lapangan, di mata para petani yang hidup dari daun tembakau, kebijakan ini benar-benar membantu.

Di Aula Pondok Tahfidz Yanbuul Qur'an Remaja | dok.pri
Di Aula Pondok Tahfidz Yanbuul Qur'an Remaja | dok.pri

Saya tertegun melihat kontras yang terjadi: di satu sisi Gus Baha berbicara tentang mental pemberi, di sisi lain Menteri Koboi berbicara tentang kebijakan fiskal. Dua dunia yang tampak berbeda, tetapi sesungguhnya saling bersinggungan. Apa artinya menjadi pemberi dalam konteks negara? Salah satunya adalah melalui kebijakan yang berpihak, kebijakan yang meringankan beban rakyat kecil.

Pulang dari Kudus, pikiran saya penuh dengan catatan. Tentang anak yang sedang menapaki jalan panjang keilmuan. Tentang Gus Baha yang mengingatkan makna memberi. Tentang Menteri Purbaya yang mengajarkan bahwa kebijakan ekonomi pun bisa menjadi bentuk "pemberian" bila ditujukan untuk menyejahterakan rakyat. Kudus hari itu seakan mempertemukan spiritualitas dan realitas: doa dan kebijakan, masjid dan dinas, pengajian dan rapat ekonomi.

Bagi saya pribadi, ini bukan hanya perjalanan sambangan anak, melainkan juga perjalanan jiwa. Kudus menyatukan banyak hal dalam satu waktu: cinta orang tua, ilmu ulama, dan kepedulian negara. Dan semua itu berkelindan dalam satu pesan sederhana: jadilah pemberi, bukan peminta. Entah dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun negara, semangat memberi selalu lebih membangun daripada semangat menuntut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun