Pertanyaannya: apakah busana Obor Sewu hanya sekadar "pakaian festival"? Jawabannya: tidak. Ia berpotensi menjadi ikon budaya Bojonegoro yang bisa tampil di panggung nasional, bahkan internasional. Jika Banyuwangi bisa mendunia dengan Gandrung, dan Yogyakarta dengan batiknya, kenapa Bojonegoro tidak bisa dengan Obor Sewu?
Kuncinya ada pada konsistensi: bagaimana pemerintah daerah, seniman, desainer, dan masyarakat mampu merawat tradisi ini sambil mengembangkannya dalam bentuk yang lebih modern. Misalnya, motif batik khas Obor Sewu bisa diterapkan dalam fashion kontemporer---jaket, tas, atau sepatu---tanpa kehilangan ruh lokalnya.
Hari Batik memberi kita kesempatan untuk merenungkan, bahwa kain yang kita kenakan bukan sekadar tren, tapi identitas. Busana Obor Sewu mengingatkan, bahwa di balik kain dan warna ada makna solidaritas, kebersamaan, dan semangat yang menyala.
Di tengah dunia yang serba cepat dan instan, busana tradisi justru memberi jeda. Ia memaksa kita berhenti sejenak, menoleh ke belakang, lalu melangkah ke depan dengan lebih teguh. Bojonegoro, lewat Obor Sewu, sudah menyalakan obor itu. Tinggal bagaimana kita, generasi hari ini, ikut menjaga agar api itu tidak padam---agar busana bukan hanya penutup tubuh, melainkan juga penanda jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI