Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ekoteologi dalam Tempat Sampah

1 Oktober 2025   14:06 Diperbarui: 1 Oktober 2025   14:06 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pernahkah Anda jalan pagi sambil menghirup udara segar, lalu tiba-tiba aroma "ajaib" dari tumpukan sampah mengusik hidung? Seakan-akan bumi sedang memberi teguran: "Hei, kalian ini makhluk paling cerdas atau paling ceroboh, sih?" Fenomena ini bukan hanya masalah tata kota atau teknis kebersihan, tapi juga bisa dibaca dari kacamata yang lebih dalam: ekoteologi.

Ekoteologi, secara sederhana, adalah refleksi teologis tentang relasi manusia dengan alam. Dalam banyak tradisi agama, bumi bukan sekadar tempat tinggal, melainkan titipan yang harus dijaga. Al-Qur'an misalnya, menyebut manusia sebagai khalifah fil-ardh (pemimpin di bumi) yang punya tanggung jawab moral menjaga ciptaan Tuhan.

Artinya, krisis lingkungan bukan sekadar soal teknis, melainkan juga krisis spiritual. Sampah yang menumpuk dan menggunung bisa dibaca sebagai tanda bahwa relasi kita dengan alam sedang tidak sehat. Kita sering merasa bumi ini milik kita sepenuhnya, padahal sejatinya kita hanyalah tamu.

Mari bicara jujur. Berapa kali kita dengan enteng membuang plastik kopi saset di jalan? Atau merasa biasa saja membakar sampah di belakang rumah? Padahal, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (2022) mencatat Indonesia menghasilkan sekitar 68,5 juta ton sampah per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 18,5% masih belum terkelola. Dan, 32% sampah plastik berakhir di laut, menjadi ancaman bagi biota.

Sampah bukan hanya soal kotoran yang bau, melainkan juga soal etika. Ia merefleksikan bagaimana kita memperlakukan bumi: dengan hormat atau dengan abai. Jika dalam teologi kita percaya bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, maka membuang sampah sembarangan sama artinya dengan merusak karya seni agung Sang Pencipta.

Dalam kerangka ekoteologi, pengelolaan sampah bisa dipahami sebagai bagian dari ibadah ekologis. Misalnya: 1. Reduce, Reuse, Recycle (3R) bukan hanya jargon, tapi juga bentuk pengamalan tanggung jawab moral. Mengurangi sampah plastik sama artinya dengan mengurangi dosa ekologis kita. 2. Bank sampah di banyak desa bukan hanya program ekonomi sirkular, tetapi juga latihan spiritual untuk hidup hemat, tertib, dan peduli. 3. Kompos dari sampah organik bisa kita lihat sebagai wujud syukur: sampah sisa dapur pun masih punya nilai, bisa menyuburkan tanah.

Dalam literatur ekoteologi, seperti yang ditulis Sallie McFague dalam A New Climate for Theology (2008), ada gagasan bahwa bumi adalah tubuh Tuhan (the world as God's body). Jadi, ketika kita mencemari lingkungan, itu sama saja dengan menyakiti tubuh Ilahi. Perspektif ini memberi kesadaran emosional yang kuat: jangan remehkan puntung rokok atau kantong plastik yang kita buang sembarangan, karena dampaknya bisa panjang.

Pertanyaannya, bagaimana ekoteologi bisa diturunkan ke level tindakan sehari-hari, terutama dalam urusan sampah di lingkungan sekitar kita?

Pertama, edukasi berbasis iman dan budaya lokal. Bayangkan jika khutbah Jumat atau ceramah pengajian tidak hanya bicara soal ibadah ritual, tetapi juga ibadah ekologis: menjaga sungai, memilah sampah, menanam pohon. Dalam tradisi Jawa, ada pepatah memayu hayuning bawana---menjaga harmoni alam semesta. Bukankah ini sejatinya ekoteologi dalam bahasa lokal?

Kedua, membangun ekosistem pengelolaan sampah berbasis komunitas. Pengalaman di Surabaya misalnya, ada kebijakan menukar sampah plastik dengan tiket bus Suroboyo. Kreatif dan sekaligus mendidik masyarakat. Atau di beberapa desa, ada gerakan sedekah sampah, di mana sampah dipilah dan hasilnya dipakai untuk kegiatan sosial. Ini bukti bahwa pengelolaan sampah bisa dipadukan dengan nilai religius dan sosial.

Ketiga, menginternalisasi etika ekologis dalam keluarga. Anak-anak perlu dibiasakan sejak dini untuk tidak membuang sampah sembarangan. Karena kalau orang tua santai buang bungkus permen di jalan, jangan salahkan kalau anak meniru. Pendidikan lingkungan pertama justru ada di rumah.

Sebagian orang mungkin bertanya: "Kenapa harus repot-repot pakai istilah ekoteologi? Bukannya cukup pakai istilah kebersihan atau lingkungan?"

Jawabannya: karena masalah sampah bukan cuma teknis, tapi juga menyentuh wilayah batin. Tanpa dimensi spiritual, gerakan lingkungan sering kali berhenti di level proyek atau program, lalu mandek. Ekoteologi memberi dasar moral dan rasa keterikatan emosional: menjaga bumi bukan sekadar tugas, tapi bagian dari iman.

Kalau kita percaya bahwa membuang sampah sembarangan itu dosa, maka kesadaran kita akan jauh lebih dalam ketimbang hanya sekadar takut ditegur Satpol PP. Dengan bahasa agama, orang lebih mudah tersentuh. Itulah mengapa ekoteologi penting: ia menjembatani sains dan iman, teknologi dan moralitas.

Pada akhirnya, berbicara tentang sampah adalah berbicara tentang cara kita memandang dunia. Apakah bumi ini sekadar tempat buangan, ataukah rumah bersama yang harus dirawat dengan cinta? Ekoteologi mengajak kita untuk menggeser perspektif: sampah bukan sekadar urusan Dinas Kebersihan, tapi juga cermin etika kita sebagai manusia beriman.

Mungkin kita tidak bisa langsung menghentikan produksi 68 juta ton sampah nasional. Tapi kita bisa memulai dari hal kecil: membawa botol minum sendiri, memilah sampah di rumah, atau mengingatkan tetangga yang masih hobi buang sampah ke sungai. Dan setiap langkah kecil itu, dalam kerangka ekoteologi, bukan sekadar aksi lingkungan, tapi juga bentuk ibadah.

Jadi, lain kali ketika melihat sampah berserakan, jangan hanya mendengus kesal. Ingatlah: itu teguran alam sekaligus ujian spiritual. Pertanyaannya, maukah kita lulus ujian itu dengan tindakan nyata?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun