Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ekoteologi dalam Tempat Sampah

1 Oktober 2025   14:06 Diperbarui: 1 Oktober 2025   14:06 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, menginternalisasi etika ekologis dalam keluarga. Anak-anak perlu dibiasakan sejak dini untuk tidak membuang sampah sembarangan. Karena kalau orang tua santai buang bungkus permen di jalan, jangan salahkan kalau anak meniru. Pendidikan lingkungan pertama justru ada di rumah.

Sebagian orang mungkin bertanya: "Kenapa harus repot-repot pakai istilah ekoteologi? Bukannya cukup pakai istilah kebersihan atau lingkungan?"

Jawabannya: karena masalah sampah bukan cuma teknis, tapi juga menyentuh wilayah batin. Tanpa dimensi spiritual, gerakan lingkungan sering kali berhenti di level proyek atau program, lalu mandek. Ekoteologi memberi dasar moral dan rasa keterikatan emosional: menjaga bumi bukan sekadar tugas, tapi bagian dari iman.

Kalau kita percaya bahwa membuang sampah sembarangan itu dosa, maka kesadaran kita akan jauh lebih dalam ketimbang hanya sekadar takut ditegur Satpol PP. Dengan bahasa agama, orang lebih mudah tersentuh. Itulah mengapa ekoteologi penting: ia menjembatani sains dan iman, teknologi dan moralitas.

Pada akhirnya, berbicara tentang sampah adalah berbicara tentang cara kita memandang dunia. Apakah bumi ini sekadar tempat buangan, ataukah rumah bersama yang harus dirawat dengan cinta? Ekoteologi mengajak kita untuk menggeser perspektif: sampah bukan sekadar urusan Dinas Kebersihan, tapi juga cermin etika kita sebagai manusia beriman.

Mungkin kita tidak bisa langsung menghentikan produksi 68 juta ton sampah nasional. Tapi kita bisa memulai dari hal kecil: membawa botol minum sendiri, memilah sampah di rumah, atau mengingatkan tetangga yang masih hobi buang sampah ke sungai. Dan setiap langkah kecil itu, dalam kerangka ekoteologi, bukan sekadar aksi lingkungan, tapi juga bentuk ibadah.

Jadi, lain kali ketika melihat sampah berserakan, jangan hanya mendengus kesal. Ingatlah: itu teguran alam sekaligus ujian spiritual. Pertanyaannya, maukah kita lulus ujian itu dengan tindakan nyata?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun