Itu sejalan dengan riset Harvard tentang job satisfaction yang menekankan pentingnya meaningful work. Pekerjaan yang bermakna, meski tak selalu mendatangkan kekayaan berlimpah, justru lebih berpengaruh pada kesehatan mental dan kebahagiaan jangka panjang.
Selain itu, pindah karier di usia 30-an juga bisa jadi momentum untuk membangun jati diri yang lebih autentik. Kita tak lagi sekadar mengikuti ekspektasi orang tua atau gengsi sosial. Kita memilih jalur yang sesuai dengan nilai personal, entah itu bekerja di bidang kreatif, sosial, atau bahkan jadi petani urban yang bahagia melihat sayur tumbuh segar tiap pagi.
Bagaimana Menyiapkan Diri?
Nah, biar langkah ini tak berubah jadi tragedi finansial, ada beberapa hal yang bisa dipersiapkan:
1. Bangun Dana Darurat -- Minimal 6 bulan biaya hidup. Ini semacam parasut kalau ternyata pindah karier tidak langsung menghasilkan.
2. Belajar Sambil Jalan -- Jangan langsung resign kalau belum ada bekal. Coba dulu ambil kursus malam, proyek sampingan, atau freelance.
3. Bangun Jaringan -- Karier baru seringkali lebih mudah ditembus lewat kenalan. Networking itu ibarat pintu rahasia dalam permainan, bikin jalan pintas lebih gampang ditemukan.
4. Uji dengan Mini-Project -- Kalau mau jadi penulis, coba dulu menulis blog. Kalau mau jadi desainer, buat portofolio kecil. Jangan menunggu sempurna.
5. Siapkan Mental untuk Turun Status -- Dari "senior" bisa jadi "junior" lagi. Tak apa, itu bagian dari proses.
Pindah karier di usia 30-an memang pahit-manis. Ada risiko finansial, ada rasa kehilangan, tapi juga ada peluang menemukan makna hidup yang lebih dalam. Toh, hidup bukan lomba cepat-cepat sampai garis finish.
Mungkin benar kata pepatah Jawa: Urip iku sawang-sinawang---hidup itu soal perspektif. Dari luar, pindah karier di usia 30-an bisa terlihat nekat. Tapi dari dalam, justru itulah bentuk keberanian: berani jujur pada diri sendiri.