Fenomena anak-anak muda turun ke jalan, mengibarkan spanduk, menyuarakan pendapat di forum publik, atau sekadar menyebarkan kesadaran lewat media sosial, adalah sesuatu yang kian sering kita lihat. Dari isu lingkungan, hak asasi manusia, hingga keadilan sosial, generasi muda menunjukkan bahwa mereka tidak hanya hidup di dunia maya untuk mengeluh, tetapi juga berani bergerak nyata.
Sebagai orang dewasa, orang tua, atau bahkan pendidik, fenomena ini bisa jadi menimbulkan dua perasaan yang saling bertolak belakang: bangga sekaligus khawatir. Bangga karena ternyata anak-anak kita memiliki kepekaan sosial sejak dini, namun khawatir karena sering kali aktivisme dianggap berisiko: bersinggungan dengan politik, keamanan, bahkan stigma masyarakat.
Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi fenomena ini? Apakah aktivisme anak muda sekadar tren, atau sebuah tanda kebangkitan kesadaran baru yang harus kita dukung?
Salah satu ciri aktivisme anak muda saat ini adalah kemampuan mereka mengorganisir diri melalui media sosial. Kita mungkin sering melihat bagaimana isu lingkungan, misalnya krisis iklim, menyebar dengan cepat lewat kampanye daring. Anak muda bukan hanya menekan tombol like atau share, tapi juga menginisiasi gerakan menanam pohon, membersihkan sungai, hingga menggelar diskusi publik.
Ini menunjukkan pergeseran penting. Aktivisme tidak lagi dimonopoli oleh tokoh besar atau organisasi mapan. Justru anak-anak muda dengan ide segar, kreativitas digital, dan semangat kebersamaan, mampu menghadirkan ruang baru bagi partisipasi publik.
Di Indonesia sendiri, kita bisa melihat contoh nyata dari gerakan pelajar dan mahasiswa yang menolak kebijakan tertentu, komunitas kreatif yang mengusung isu lingkungan lewat musik dan seni, hingga kelompok anak muda yang menginisiasi solidaritas kemanusiaan di daerah bencana. Semua ini menegaskan bahwa aktivisme bukan hanya tentang protes, tetapi juga tentang aksi sosial yang berdampak nyata.
Namun, di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kekhawatiran orang tua atau orang dewasa tetaplah wajar. Aktivisme sering kali berhadapan dengan kekuatan besar: politik, ekonomi, bahkan aparat keamanan. Orang tua cenderung khawatir jika anak mereka terseret dalam situasi berbahaya.
Selain itu, ada juga pandangan bahwa aktivisme bisa mengganggu konsentrasi belajar, dianggap sekadar "ikut-ikutan tren", atau bahkan menjerumuskan anak muda dalam sikap idealis yang terlalu keras tanpa mempertimbangkan realitas.
Pertanyaan yang muncul adalah: sampai sejauh mana kita perlu memberi ruang pada anak-anak muda untuk berekspresi melalui aktivisme? Apakah kita siap menjadi pendukung, atau justru menjadi penghalang yang menahan mereka demi alasan keamanan dan kenyamanan?
Jika kita telusuri lebih dalam, aktivisme sejatinya bisa menjadi ruang belajar yang sangat berharga. Anak-anak muda yang terlibat dalam gerakan sosial akan belajar banyak hal yang mungkin tidak mereka dapatkan di ruang kelas: keterampilan komunikasi, kemampuan mengorganisir acara, berpikir kritis, hingga kepemimpinan.