Maka, komunikasi bukan sekadar pelengkap kebijakan. Ia justru jembatan utama agar kebijakan bisa diterima masyarakat.
Apa Solusinya?
Ada beberapa hal yang sebenarnya sederhana tapi sering dilupakan:
Pertama, punya penulis pidato profesional. Jangan anggap remeh. Di Amerika, presiden punya tim khusus yang meracik setiap kata agar sesuai situasi. Di sini, banyak pejabat masih mengandalkan improvisasi. Bagus kalau berhasil, tapi kalau salah? Hasilnya bisa jadi bencana.
Kedua, latihan public speaking berkelanjutan. Sama seperti atlet yang terus berlatih meski sudah juara, pejabat pun perlu mengasah keterampilan bicara. Bukan hanya soal suara lantang, tapi juga cara bercerita, bahasa tubuh, sampai bagaimana membaca suasana.
Ketiga, simulasi krisis. Berbicara di depan massa yang marah berbeda dengan memotong pita peresmian. Pejabat harus tahu kapan menenangkan, kapan memberi solusi, dan kapan cukup diam.
Keempat, dengar masukan tim humas. Humas bukan sekadar bikin spanduk atau rilis berita. Mereka bisa menjadi filter agar kalimat yang keluar tidak melukai hati publik.
Belajar dari Dunia Humas dan MC
Kalau kita tanya teman-teman yang bekerja sebagai humas atau MC, mereka pasti bilang: keterampilan bicara itu hasil latihan. Tidak ada yang langsung lancar.
Biasanya, mereka mulai dengan persiapan: riset audiens, memahami isu, dan menyiapkan catatan kecil. Lalu latihan: bicara di depan cermin, rekam suara sendiri, sampai simulasi di hadapan rekan kerja. Setelah tampil, mereka tidak segan menerima kritik. Yang paling penting: mereka selalu menaruh empati. Audiens tidak hanya ingin mendengar informasi, tapi juga ingin merasa dihargai.
Pejabat kita seharusnya bisa belajar dari sini.