Belakangan ini jagat maya kembali gaduh. Bukan soal gosip artis atau pertandingan sepak bola, tapi ucapan Menteri Agama Nasaruddin Umar yang dinilai menyinggung para guru. Padahal, baru saja publik masih sibuk memperbincangkan 17+8 Tuntutan Rakyat. Rasanya, pejabat kita ini sering "kepleset lidah" di panggung publik.
Di sinilah muncul pertanyaan klasik: seberapa jago sebenarnya pejabat kita dalam urusan bicara di depan publik? Kalau diminta memberi nilai, mungkin rata-rata mereka masih di angka enam dari sepuluh. Artinya, cukup bisa menyampaikan maksud, tapi belum tentu sampai menyentuh hati masyarakat.
Bicara Itu Seperti Memasak
Bayangkan public speaking seperti memasak. Bahan mentahnya adalah data dan kebijakan. Bumbunya adalah intonasi, pilihan kata, dan empati. Kalau bumbunya pas, masakan enak, orang akan bilang: "Wah, ini program keren." Tapi kalau salah racik, bisa-bisa orang menutup hidung, meski bahan masakannya sebenarnya bagus.
Seringkali pejabat kita hanya sibuk dengan bahan mentah---angka, regulasi, target. Lupa menambahkan bumbu emosional. Jadinya hambar, atau malah bikin pedas di lidah publik.
Skor Pejabat Kita
Coba kita kasih nilai ala-ala ujian sekolah. Kepala daerah muda biasanya dapat delapan. Mereka pandai memanfaatkan media sosial, gaya bicara santai, dan mampu merangkul anak muda. Menteri teknis rata-rata enam. Isinya berbobot, tapi penyampaiannya kaku dan penuh istilah yang bikin rakyat awam bingung. Pejabat senior? Kadang lima saja sudah bagus. Pidatonya formal, panjang, dan bikin ngantuk.
Sementara politisi parlemen, nilainya seperti kembang api: ada yang menyala indah, ada juga yang malah bikin kuping berdenging karena terlalu meledak-ledak.
Mengapa Salah Bicara Itu Bahaya?
Di zaman sekarang, satu kalimat bisa menyebar ke seluruh negeri dalam hitungan detik. Salah ucap sedikit saja bisa jadi headline, bahan meme, bahkan trending topic. Publik marah, demonstrasi muncul, dan citra pejabat pun rusak. Efek domino ini nyata.