Pernahkah Anda merasa heran, bagaimana mungkin di satu sisi kita melihat mal megah penuh toko mewah, sementara tak jauh dari sana ada keluarga yang kesulitan makan sehari sekali? Kontras ini bukan sekadar kebetulan, melainkan gejala yang semakin nyata di tengah sistem yang saya sebut serakahnomics ekonomi rakus yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Serakahnomics: Ekonomi Rakus yang Sistemik
Serakahnomics bukan cuma soal individu yang doyan menimbun harta. Ia sudah menjelma menjadi sistem: kebijakan ekonomi, pola bisnis, bahkan gaya hidup. Logikanya sederhana: maksimalisasi keuntungan di atas segalanya. Tidak peduli apakah hutan gundul, rakyat menderita, atau kesenjangan semakin lebar asal grafik laba naik, semua dianggap sukses.
Padahal, sejak lama agama dan filsafat memperingatkan bahaya kerakusan. Pepatah Arab mengatakan, "Hubbu ad-dunya ra'su kulli khathi'ah" cinta dunia pangkal dari segala kesalahan. Dalam konteks modern, serakahnomics inilah wujudnya: kerakusan kolektif yang menggerus nilai keadilan sosial.
Ketimpangan Sosial
Dampak paling nyata dari serakahnomics adalah ketimpangan sosial. Mari kita lihat datanya. Menurut laporan Oxfam (2023), 1% orang terkaya di dunia menguasai hampir 50% kekayaan global. Artinya, segelintir orang bisa hidup mewah dengan jet pribadi dan vila di berbagai negara, sementara miliaran manusia harus puas dengan penghasilan pas-pasan.
Di Indonesia, gambaran serupa muncul. Data BPS 2022 menunjukkan koefisien gini---indikator ketimpangan---masih berada di angka 0,38. Artinya, kekayaan tidak terbagi merata. Di kota besar, kita melihat gedung pencakar langit dan apartemen mewah, tapi di pinggirannya masih ada rumah-rumah petak yang penghuninya kesulitan membayar listrik.
Ketimpangan ini bukan sekadar masalah angka, melainkan masalah kemanusiaan. Bagaimana bisa keadilan sosial sila kelima Pancasila terwujud kalau struktur ekonomi terus memihak pada yang kuat?
Mengapa Serakahnomics Melahirkan Ketimpangan?
Mari kita bedah secara sederhana.