Jika kita perhatikan, pola yang sama selalu berulang: di keluarga, di RT, bahkan di desa. Ada orang yang memilih ikut berkontribusi, ada yang cukup diam, dan ada pula yang malah bikin repot. Dari contoh itu kita bisa belajar satu hal: keberlangsungan hidup bersama hanya mungkin kalau setiap orang sadar diri—setidaknya jangan menambah beban.
Prinsip ini juga berlaku dalam skala negara. Bukan berarti warga dilarang menerima bantuan; tentu negara wajib hadir. Tapi, kalau bisa mandiri, kenapa harus bergantung? Kalau bisa berkontribusi, kenapa harus meminta?
Di Jawa ada pepatah, urip iku urup—hidup itu menyala, memberi terang bagi sekitar. Maknanya jelas: manusia seharusnya memberi manfaat, bukan menjadi beban.
Cerita kecil tentang kerja bakti, anak muda yang rebahan, kebiasaan membuang sampah sembarangan, atau gaya hidup yang merusak kesehatan—semua mengajarkan satu pola yang sama: beban besar negara bermula dari kebiasaan kecil warganya.
Jika warga desa bisa kembali pada semangat gotong royong dan kemandirian, beban negara otomatis berkurang. Negara tidak perlu terlalu sering menambal lubang, karena warganya sudah menjaga jalannya masing-masing.
Maka, dari obrolan ringan di warung kopi sampai renungan di pos ronda, kita bisa menarik benang merah: hidup ini bukan hanya soal menerima, tapi juga memberi. Dan dalam kehidupan bernegara, prinsip paling sederhana yang bisa kita pegang adalah ini: setidaknya jangan jadi beban negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI