Bagi masyarakat Kecamatan Balen, Bojonegoro, bulan Safar bukanlah bulan yang lewat begitu saja di kalender hijriyah. Ada satu hari yang dianggap istimewa sekaligus penuh kewaspadaan: Rabu Wekasan, Rabu terakhir bulan Safar. Orang-orang tua di kampung percaya, hari itu rawan musibah. Maka, mereka menghadapinya bukan dengan ketakutan, melainkan dengan doa, kenduri, dan kebersamaan.
Musholla yang Ramai, Doa yang Mengalun
Sore menjelang malam Rabu Wekasan, musholla-musholla di Balen tampak lebih hidup. Warga datang membawa nasi berkat dalam rantang, besek, atau kardus kecil. Setelah shalat magrib, doa bersama dimulai: tahlil, shalawat, dan doa tolak bala yang dibaca penuh khidmat.
Bagi masyarakat Balen, doa ini bukan sekadar rutinitas. Ada keyakinan bahwa doa kolektif bisa menjadi benteng bersama. Seperti ungkapan Jawa, sing penting ojo lali ndonga, urip kudu eling lan waspada. Hidup harus diiringi doa dan kewaspadaan, karena bala bisa datang kapan saja.
Usai doa, nasi berkat dibagikan. Isinya sederhana—nasi putih, sayur lodeh, tempe, tahu, kadang lauk ayam kampung. Namun yang sederhana itu terasa istimewa karena dibawa pulang dengan doa keselamatan.
Kenduri Safar: Berkat dan Sedekah
Selain doa di musholla, beberapa desa di Balen menggelar kenduri Safar. Biasanya dilaksanakan di rumah tokoh agama atau balai desa. Warga membawa makanan masing-masing, lalu makan bersama setelah doa.
Ada juga kebiasaan berbagi makanan kepada tetangga yang sakit, janda tua, atau warga kurang mampu. Tradisi ini memperlihatkan wajah asli orang Balen: guyub dan gotong royong. Bala tidak cukup dihadapi dengan doa, tapi juga dengan kepedulian sosial.
Kalau ditelisik, tradisi ini sejalan dengan ajaran Islam tentang hablum minallah dan hablum minannas. Doa memperkuat hubungan dengan Tuhan, sementara sedekah memperkuat ikatan dengan sesama.
Mandi Safar: Antara Main Air dan Simbol Kesucian