Di bawah langit Bojonegoro yang baru saja disemarakkan oleh pelantikan pengurus PCNU dan Banomnya---Ansor, Fatayat, IPNU, dan IPPNU---ada satu pertanyaan penting yang mulai menggelitik: setelah semua sah dilantik, foto bersama dibagikan ke WhatsApp grup dan feed Instagram, lalu apa?
Jawabannya bisa jadi sesederhana: saatnya mengonlinekan NU Bojonegoro.
Jangan salah. Ini bukan ajakan untuk meninggalkan ngaji kitab kuning dan beralih ke TikTok dakwah (meskipun bisa juga sih), tapi lebih kepada mengkonsolidasikan potensi besar NU melalui pemanfaatan teknologi digital. Sebab, di era internet of things ini, konsolidasi organisasi tidak cukup hanya dilakukan lewat rapat-rapat fisik dan apel akbar. Perlu langkah nyata menghubungkan hati dan pikiran warga NU melalui koneksi yang lebih cepat dari sinyal HT Banser.
Konsolidasi itu Wajib, Tapi Online-kan Itu Sunnah Muakkad
Pelantikan pengurus PCNU dan Banom baru-baru ini adalah momentum penting. Ia bukan hanya ajang formalitas mengangkat sumpah, tapi juga momen strategis untuk memulai konsolidasi gerakan. Dalam konteks NU, konsolidasi bukan cuma menyatukan visi dan misi organisasi, tapi juga menjahit ulang tali silaturahim antar warga nahdliyin yang tersebar dari kota sampai pelosok dusun.
Namun, jika konsolidasi hanya dikerjakan dengan pendekatan konvensional, risikonya besar: program jalan tapi tak terdengar, gerakan besar tapi sepi dukungan, dan yang paling gawat, kader muda lebih tahu trending challenge TikTok daripada jadwal kegiatan PAC atau ranting.
Di sinilah pentingnya mengonlinekan NU. Menghidupkan kanal digital NU Bojonegoro sebagai etalase gerakan dan pusat konsolidasi informasi. Bayangkan kalau semua kegiatan PAC hingga ranting terdokumentasi rapi di website dan akun media sosial NU Bojonegoro. Dokumentasi digital bukan lagi sekadar buat arsip ketua, tapi juga jadi alat belajar kader-kader baru.
Dari Masjid ke Media Sosial: Jalan Baru Dakwah Kultural
Kita tahu, NU punya kekuatan besar dalam dakwah kultural---selawatan, manaqiban, tahlilan, sampai pengajian umum yang digelar dari panggung tenda. Tapi tantangan hari ini adalah: bagaimana mengemas dakwah-dakwah tersebut agar bisa menjangkau generasi yang lebih akrab dengan YouTube daripada kitab Safinatun Najah?
Sudah saatnya NU Bojonegoro tidak hanya konsolidasi struktur, tapi juga konsolidasi konten. Misalnya, video pendek tentang kearifan lokal ala NU, tutorial ngaji kitab kuning versi 3 menit, atau podcast santai yang membahas tradisi keislaman ala pesantren. Tidak harus sempurna, yang penting konsisten. Kalau akun TikTok NU bisa bikin orang jatuh cinta pada Islam ramah, itu sudah lebih dari cukup.
"Digitalisasi NU" Bukan Sekadar Website dan WiFi
Mengonlinekan NU bukan berarti sekadar bikin website resmi dan pasang WiFi di kantor PCNU (walau ini langkah penting juga, apalagi buat rapat Zoom dadakan). Tapi ini soal bagaimana NU bisa hadir secara digital sebagai otoritas moral, sosial, dan kultural di tengah masyarakat Bojonegoro.
Literatur seperti "Cyber Islam" karya Gary Bunt atau kajian dari Howard Rheingold tentang virtual community bisa jadi referensi bahwa komunitas keagamaan digital bukan hanya mungkin, tapi sudah terbentuk. Tinggal NU Bojonegoro mau ikut arus ini atau sekadar jadi penonton.
Digitalisasi juga soal manajemen data. Bayangkan jika data kader, program, hingga potensi ekonomi umat bisa diakses dan dimanfaatkan lewat platform digital. Ini bisa mendukung gerakan kemandirian ekonomi ala LPNU, program pendidikan dari LP Ma'arif, hingga gerakan sosial Fatayat dan IPPNU.
Dan jangan lupa, kader NU banyak yang jago desain, videografi, bahkan coding. Konsolidasi digital adalah jalan mempertemukan kemampuan anak muda dengan kebutuhan gerakan. Mungkin sekarang saatnya bukan hanya bikin madrasah diniyah, tapi juga madrasah digitaliyah.
Tantangan: Jangan Sampai Digitalisasi Malah Jadi "Diginisasi"
Namun, kita juga harus waspada. Digitalisasi bisa jadi jebakan jika hanya berorientasi pada pencitraan. Akun Instagram NU ramai dengan poster, tapi realitas di lapangan sepi kegiatan. Atau, program-program bagus tidak pernah diunggah karena "admin-nya sibuk cari sinyal".
Mengonlinekan NU harus tetap dibangun atas semangat keterlibatan jamaah dan jam'iyyah. Kita tak boleh membiarkan digitalisasi membuat NU kehilangan ruhnya: kebersamaan, keikhlasan, dan khidmat.
Penutup: Dari Konsolidasi ke Konektivitas
Akhir kata, pelantikan PCNU dan Banom adalah awal dari babak baru. Kini saatnya NU Bojonegoro melangkah dari konsolidasi struktural menuju konsolidasi digital. Dari sekadar koordinasi lewat grup WhatsApp, menuju konektivitas yang mendukung visi besar NU sebagai pengayom umat.
Mari kita bayangkan, suatu hari nanti, warga NU dari Margomulyo hingga Baureno bisa mengakses program NU, melihat jadwal pengajian, ikut pelatihan online, hingga berdiskusi tentang masa depan Bojonegoro lewat platform digital NU. Itulah NU yang konsolidatif sekaligus konektif.
Karena di zaman sekarang, khidmat itu tidak cukup sekadar hadir di rapat, tapi juga hadir di linimasa.Â
Wallahul muwafiq, Wassalamualaikum.
*) Wakil Ketua PC GP Ansor Bojonegoro, General Manager BMT NU Balen.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI