Di ujung abad ke-19, Blora dan Bojonegoro bukan cuma dikenal karena kayu jatinya yang gagah, tapi juga karena satu kisah unik: seorang petani berkain lurik, berkumis sederhana, tapi pemikirannya setajam mata gergaji tukang kayu Belanda. Namanya Samin Surosentiko---lahir di Desa Ploso Kediren, Randublatung, Blora, sekitar tahun 1859. Ia bukan bangsawan, bukan priyayi, tapi punya modal paling berbahaya untuk penjajah: akal sehat.
Pajak yang Membikin Pusing
Pada masa itu, Hindia Belanda sedang giat-giatnya "menguras" sumber daya lewat kebijakan pajak dan tanam paksa. Pajak bukan cuma untuk tanah, tapi juga hasil bumi, ternak, bahkan---konon---pohon jati yang tumbuh di belakang rumah. Kalau kita hidup di zaman itu, mungkin daftar pajaknya panjang seperti struk belanja akhir bulan.
Di Bojonegoro dan Blora, yang punya banyak hutan jati, pemerintah kolonial menetapkan aturan bahwa semua hasil hutan adalah milik negara (baca: milik penjajah). Masyarakat yang mengambil kayu untuk kebutuhan sendiri bisa dianggap mencuri. Padahal, nenek moyang mereka sudah ratusan tahun memanfaatkan hutan itu tanpa masalah. Lalu, pajak tanah pertanian pun ditarik tanpa ampun, bahkan ketika gagal panen. Belanda memang piawai dalam hal "memutar otak" agar uang rakyat mengalir ke kas mereka---sayangnya, otaknya diputar ke arah yang salah.
Lahirnya Perlawanan Samin
Samin Surosentiko melihat ketidakadilan ini. Tapi ia bukan tipe yang mengangkat senjata seperti Pangeran Diponegoro. Samin memilih jalur "perang tanpa darah"---perlawanan pasif (civil disobedience) dengan cara menolak membayar pajak, tidak menyerahkan hasil bumi, dan menolak aturan kolonial yang dianggap tidak masuk akal.
Logika Samin sederhana tapi telak: "Tanah ini warisan leluhur kami. Air, pohon, dan padi tumbuh dari kerja kami. Kenapa kami harus bayar kepada yang tidak menanam dan tidak mengairi sawah?" Dalam kacamata hukum kolonial, ini jelas pembangkangan. Tapi dalam kacamata nurani, ini pembelaan diri.
Saminisme pun berkembang menjadi gerakan sosial yang tak hanya menolak pajak, tapi juga mengajarkan nilai kejujuran, kesederhanaan, dan anti-kekerasan. Mereka punya prinsip: ora nyolong, ora pethil, ora ngapusi, ora medhot janji, lan ora wedi (tidak mencuri, tidak mengambil milik orang, tidak berbohong, tidak mengingkari janji, dan tidak takut pada ancaman).
Blora dan Bojonegoro: Lahan Subur Gerakan
Blora menjadi pusat gerakan ini karena di sanalah Samin tinggal dan menyebarkan ajarannya. Namun, Bojonegoro, sebagai tetangga yang punya kultur dan kondisi ekonomi mirip, ikut terseret arus Saminisme. Petani-petani di wilayah perbatasan mulai menolak membayar pajak tanah dan hasil hutan. Mereka lebih memilih menggarap lahan untuk kebutuhan sendiri daripada menyerahkannya kepada pemerintah kolonial.