Hari pertama masuk sekolah selalu menjadi momen yang istimewa. Bagi para siswa, ini seperti membuka buku baru---halaman pertama dari babak baru dalam hidup mereka. Namun bagi seorang guru, terutama di era digital seperti sekarang, hari pertama bisa menjadi medan uji yang menegangkan. Ada rasa gugup yang kadang tak kalah dengan murid-murid baru. Apalagi ketika dihadapkan dengan anak-anak generasi Alpha, yang sejak balita sudah akrab dengan layar sentuh, emoji, dan dunia daring.
Saya masih ingat, dulu waktu pertama kali mengajar, tugas utama seorang guru terasa cukup jelas: menyampaikan materi, membimbing diskusi, memberi tugas, lalu menilai. Kini, peran itu sudah berkembang menjadi semacam multitasking level dewa---guru harus sekaligus menjadi motivator, content creator, pengelola emosi, bahkan kadang influencer di mata murid.
Pagi itu, ketika lonceng sekolah berbunyi, saya berdiri di depan kelas dengan kemeja yang sudah saya setrika rapi semalam. Ada senyum yang saya paksa tetap merekah, meski dalam hati degup jantung saya tak kalah cepat dengan notifikasi WhatsApp wali murid yang masuk sejak subuh. Anak-anak datang dengan wajah ceria, beberapa masih malu-malu, sementara lainnya sudah langsung akrab dengan gadget-nya, memotret suasana kelas dan mengunggahnya ke story Instagram.
Di sinilah letak kecemasannya. Bagaimana saya bisa menarik perhatian anak-anak ini yang hidupnya begitu cepat, yang terbiasa multitasking---menonton video sambil chatting, sambil mendengarkan musik, sambil... entah apa lagi. Tantangan bukan lagi sekadar mengajar, tapi menciptakan pengalaman belajar yang cukup menarik agar tidak kalah dengan TikTok, YouTube, atau gim daring yang selalu menggoda mereka.
Menurut data dari UNICEF Indonesia (2023), lebih dari 80% anak-anak usia sekolah di Indonesia sudah terpapar internet sejak usia dini, dan hampir 60% dari mereka menggunakan gadget lebih dari 4 jam sehari. Ini berarti, sebelum mereka belajar mengenal dunia nyata secara utuh, mereka sudah lebih dulu terjun ke dunia maya. Mereka lebih kenal karakter game daripada pahlawan nasional. Lebih fasih berbicara emoji daripada memahami peribahasa.
Sebagai guru, saya sering bertanya-tanya: "Apakah metode mengajar saya masih relevan?" Di kelas, saya kadang merasa seperti dosen tua yang berbicara di depan bioskop penuh penonton yang lebih tertarik pada layar kecil di tangan mereka daripada papan tulis yang saya isi penuh dengan spidol warna-warni. Saya pernah mencoba "menyita" perhatian mereka dengan cara klasik: bercerita, mengajak diskusi, sampai membuat kuis interaktif. Tapi jujur saja, kadang saya merasa seperti stand-up comedian yang sedang diuji selera humornya di depan audiens yang lebih suka meme.
Namun, saya sadar, ini bukan tentang siapa yang salah atau siapa yang harus menyerah. Dunia memang sudah berubah. Sekolah bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Guru bukan lagi satu-satunya sumber kebenaran. Dalam situasi ini, pendekatan kita juga harus berubah. Kuncinya, menurut saya, bukan melawan digitalisasi, tapi memeluknya---dengan tetap menjaga ruh pendidikan.
Saya mulai belajar membuat materi ajar dalam bentuk video pendek. Saya mencoba masuk ke dunia mereka, tanpa harus menjadi seperti mereka. Saya tahu saya bukan vlogger atau gamer, tapi saya bisa membuat konten edukatif yang menghibur. Saya belajar dari para edukator digital seperti Najelaa Shihab yang menekankan pentingnya pembelajaran yang relevan, atau Zenius dan Ruangguru yang mencoba menjembatani teknologi dan kurikulum.
Saya juga mulai memahami bahwa anak-anak ini tidak sepenuhnya kehilangan nilai-nilai. Mereka tetap punya rasa ingin tahu, mereka tetap butuh bimbingan, hanya saja bentuknya yang berubah. Kita, para guru, perlu bertransformasi bukan untuk menjadi selebriti digital, tapi menjadi "penyambung makna" dalam dunia yang terlalu cepat berubah. Pendidikan bukan hanya soal isi kepala, tapi juga menyentuh hati dan membentuk karakter.
Saya percaya, meski mereka hidup di dunia digital, anak-anak tetap membutuhkan sentuhan nyata. Mereka tetap butuh guru yang bisa mendengarkan, memotivasi, dan memeluk mereka (secara emosional maupun harfiah, jika perlu). Mereka tetap butuh ruang aman untuk bertanya, mencoba, gagal, dan bangkit.