Mengantar anak mondok adalah perjalanan spiritual yang tidak hanya membawa langkah kaki, tapi juga hati. Pagi itu, mobil kami melaju dari Bojonegoro menuju Jepara, kota yang akan menjadi rumah kedua bagi Amril, anak kedua kami. Ia akan mondok di Pondok Pesantren Darul Falah Amtsilati, Bangsri, Jepara---sebuah pesantren yang dikenal dengan sistem pembelajaran nahwu-sharaf yang ringkas dan aplikatif. Di kursi belakang, Wafa, kakaknya yang mondok di Kudus, sesekali memberi nasihat ala santri senior, sementara Ajrun, sepupunya dari Cirebon yang sudah tiga tahun mondok di Amtsilati, telah lama menunggu kedatangan Amril yang sudah sejak lama dinantikan.
Namun, perjalanan ini tak sekadar soal santri dan sarung. Ia juga tentang sejarah, perempuan-perempuan hebat, dan kota yang mengukir lebih dari sekadar mebel. Ya, Jepara adalah titik temu antara spiritualitas dan sejarah perlawanan, antara pendidikan dan keteladanan. Maka, sembari mobil melintasi ruas-ruas jalan menuju Bangsri, saya membisikkan kepada anak-anak: "Kalian sedang mondok di tanah para ratu."
Amtsilati dan Tradisi Ilmu
Amtsilati bukan pondok sembarangan. Pondok ini dirintis oleh KH. Taufiqul Hakim pada tahun 2000-an dan dikenal sebagai pelopor metode cepat belajar gramatika Arab. Kitab "Amtsilati" yang ia susun telah menyederhanakan rumitnya ilmu nahwu dan sharaf menjadi lebih komunikatif, ringkas, dan aplikatif. Anak-anak yang baru tamat SD pun bisa membaca kitab kuning hanya dalam hitungan bulan. Pesantren ini bukan hanya mencetak ahli fikih, tapi juga penulis, dai, dan ustaz yang melek zaman.
Mengantar anak ke pondok seperti mengantar perahu ke samudra. Di satu sisi, ada haru karena harus berpisah. Di sisi lain, ada rasa bangga karena anak sedang memulai pelayaran penting menuju kedewasaan. Dalam konteks ini, peran pondok seperti Amtsilati menjadi penting---ia bukan hanya tempat tinggal, tapi kawah candradimuka pembentukan karakter dan intelektualitas santri.
Jepara: Bukan Kota Kecil Biasa
Tapi Amtsilati bukan satu-satunya hal besar di Jepara. Kota ini punya napas sejarah yang panjang dan kadang terlupakan. Nama Jepara mungkin lebih dikenal dengan mebel dan ukirannya yang mendunia. Namun, siapa sangka bahwa kota kecil ini adalah rahim bagi perempuan-perempuan besar: Ratu Kalinyamat dan R.A. Kartini.
Pertama, mari kita kenang Ratu Kalinyamat. Ia adalah putri Sultan Trenggono dari Demak dan istri dari Sultan Hadirin. Setelah suaminya dibunuh oleh Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat memilih tidak menyerah pada duka. Ia justru bangkit menjadi pemimpin dan panglima. Menurut catatan Tome Pires dan sumber Portugis, Ratu Kalinyamat adalah satu dari sedikit perempuan Asia yang berani memimpin armada perang melawan Portugis di Malaka. Tahun 1551 dan 1574 adalah saksi betapa pasukan Jepara yang dipimpinnya mengepung Malaka---membuktikan bahwa Jepara tak hanya piawai mengukir kayu, tapi juga strategi.
Tak heran jika Presiden Jokowi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Ratu Kalinyamat pada 2022. Ini semacam "pengakuan ulang" atas sejarah yang nyaris lenyap tertimbun mebel jati dan kabar selebgram.