Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Premanisme dan Pendidikan

5 Mei 2025   18:13 Diperbarui: 6 Mei 2025   05:43 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Premanisme dampak dari kegagalan pendidikan | www.muslimahnews.net

Di sebuah perempatan jalan, saya pernah melihat pemandangan yang bikin nyengir getir. Seorang pria berbadan besar, berseragam ormas lengkap dengan emblem di dada dan bendera kecil di motor, sedang "menertibkan" pedagang kaki lima. Nada bicaranya tinggi, gerak tubuhnya intimidatif, dan yang paling mencolok: bukan petugas resmi, tapi gayanya melebihi aparat. "Ini wilayah kita!" katanya sambil menuding-nuding. Saya hanya bisa mengelus dada---sejak kapan kewenangan menjaga ketertiban beralih ke tangan preman berbaju ormas?

Fenomena premanisme dalam balutan institusi sosial ini memang bukan hal baru. Kadang mereka menyebut diri sebagai "penjaga moral", kadang "pengaman lingkungan", tapi di balik itu, pola-pola pemaksaan, ancaman, dan kekerasan tetap saja muncul. Mereka bukan mendidik, tapi menakut-nakuti. Bukan merangkul, tapi memukul.

Di sisi lain, muncul tren menarik di kalangan orang tua dan pendidik: mengirim anak ke barak-barak pelatihan ala militer. Tujuannya? "Biar disiplin!" "Biar gak manja!" atau yang paling sering terdengar: "Biar punya karakter kuat!" Mungkin ini semacam respons instan terhadap kegagalan sekolah-sekolah biasa dalam menanamkan nilai-nilai dasar. Atau mungkin pula karena pengaruh sinetron-sinetron bertema pasukan elit yang membuat disiplin ala militer terasa keren.

Sekilas, model pelatihan militer ini tampak efektif. Anak-anak bangun pagi, berbaris, hormat, push-up, dilarang main gawai, dan diawasi ketat. Tidak ada ruang untuk membangkang. Semua harus taat. Hasilnya? Dalam waktu singkat, anak-anak tampak lebih tertib, lebih patuh, dan lebih "terkendali".

Namun, mari kita bertanya lebih dalam: apakah kepatuhan itu tumbuh dari kesadaran, atau hanya karena takut? Apakah karakter kuat dibentuk dari ancaman, atau dari nilai-nilai yang dipahami secara mendalam?

Barak militer mungkin efektif untuk mencetak prajurit. Tapi mendidik manusia seutuhnya---dengan akal sehat, empati, dan kemampuan berpikir kritis---adalah ranah yang lebih rumit. Di sinilah lembaga pendidikan mengambil peran penting.

Sekolah dan pesantren, kampus dan komunitas belajar, bukan tempat menakut-nakuti, tapi tempat menyemai. Menyemai kejujuran, ketekunan, kerja sama, dan empati. Di ruang kelas yang hangat, diskusi yang sehat, dan kegagalan yang dimaklumi sebagai bagian dari proses belajar, anak-anak tumbuh bukan karena takut, tapi karena mengerti.

Masalahnya, lembaga pendidikan kita sedang krisis kepercayaan. Banyak orang tua yang mengeluh: "Sekolah mahal-mahal, anak saya malah kecanduan gawai!" atau "Pesantren bagus, tapi kok pulang-pulang tetap malas salat?" Akibatnya, barak militer jadi opsi "pendekatan jalan pintas" untuk mendisiplinkan anak, layaknya membawa motor mogok langsung ke bengkel---tanpa tahu apa yang rusak.

Padahal pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan solusi instan. Mendidik anak itu seperti menanam pohon. Tidak bisa kita siram hari ini lalu berharap besok sudah berbuah. Harus sabar, konsisten, dan penuh kasih sayang. Disiplin itu penting, tapi bukan dalam bentuk bentakan atau hukuman fisik. Disiplin yang sehat lahir dari pengertian: kenapa saya harus bangun pagi, kenapa harus belajar, kenapa harus hormat pada orang lain.

Dalam konteks ini, lembaga pendidikan punya keunggulan yang tak dimiliki barak militer: pendekatan psikologis, budaya literasi, ruang untuk bertanya, dan proses pembiasaan. Anak-anak bukan hanya diajarkan apa yang harus dilakukan, tapi juga mengapa. Mereka tidak hanya disuruh patuh, tapi juga diajak berpikir. Inilah yang membedakan pendidikan dari indoktrinasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun