Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Sungai Bercerita: Membaca Kualitas Air, Drainase dan Harapan Kita

28 April 2025   11:58 Diperbarui: 28 April 2025   11:58 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kang Dedi Mulyadi ikut terjun langsung membersihkan sungai | www.wiki.agc.wuaze.com

Kalau sungai bisa berbicara, mungkin ia sudah lama berteriak: "Tolong!" Tapi sayangnya, ia cuma bisa mengalir diam-diam, membawa semua yang kita buang tanpa protes, meski dalam diam itu, ia perlahan-lahan sekarat.

Saya pernah suatu pagi jalan-jalan di pinggir kampung, melihat aliran sungai kecil yang melintas malas di antara rumah-rumah penduduk. Airnya cokelat, kadang berbuih, dan aroma khas limbah rumah tangga menusuk hidung. Sekilas, kita tahu ada yang salah. Tapi herannya, kita terbiasa. Malah ada yang berpikir, "Ah, biasa saja, memang sungai begitu."

Padahal sungai kita dulunya jernih. Ia bukan hanya jalur air, tapi sumber kehidupan. Tapi kini? Ia berubah jadi korban kebiasaan buruk kita.

Kualitas air sungai di banyak daerah saat ini sudah jauh dari kata layak. Limbah rumah tangga, plastik, sisa makanan, sampai popok bayi dilempar begitu saja ke sungai, seolah sungai adalah tempat semua masalah berakhir. Ini diperparah dengan kondisi selokan dan drainase kita yang, jujur saja, sering lebih mirip tong sampah daripada saluran air.

Selokan di kota-kota kecil hingga kota besar banyak yang mampet. Bukan karena desainnya jelek, tapi karena kita sendiri yang seenaknya membuang sampah ke sana. Drainase yang semestinya mempercepat aliran air justru berubah jadi kolam kotor saat hujan datang. Air meluap ke jalanan, banjir pun jadi tamu tahunan.

Di desa-desa, saluran irigasi pertanian pun tak jauh berbeda nasibnya. Banyak irigasi yang tersumbat sampah, dipenuhi rumput liar, bahkan ada yang sengaja disempitkan untuk kepentingan pribadi. Petani mengeluh sawahnya kekurangan air, tapi siapa yang mau susah-susah membersihkan saluran? Lagi-lagi, sungai, selokan, drainase, dan irigasi kita menanggung beban kebiasaan buruk kita.

Kalau sudah begini, pertanyaannya: apa kita mau terus begini?

Jawabannya tentu tidak. Kita butuh perubahan. Tapi perubahan itu tidak bisa hanya mengandalkan program pemerintah atau proyek besar. Solusi sejati harus lahir dari kesadaran bersama.

Pertama, soal edukasi. Banyak orang buang sampah sembarangan bukan karena jahat, tapi karena tidak sadar. Kita perlu edukasi dari rumah ke rumah, dari sekolah ke sekolah, bahwa membuang sampah ke sungai itu sama saja dengan merusak hidup kita sendiri. Edukasi ini harus kreatif: lewat lomba kampung bersih, program bank sampah, sampai kegiatan susur sungai yang asyik. Membuat sungai bersih harus terasa keren, bukan membosankan.

Kedua, perbaikan infrastruktur. Drainase harus dibangun dengan desain yang lebih pintar: mudah dibersihkan, tidak gampang tersumbat. Selokan jangan cuma dibuka saat ada proyek besar, tapi harus rutin dipelihara. Irigasi pertanian juga perlu diperbaiki dan dipelihara bersama, mungkin lewat koperasi atau kelompok tani, supaya petani punya rasa memiliki terhadap salurannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun