Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Belajar Menghargai Sejarah dari Pak Polisi Yan Fitri

2 Januari 2016   12:44 Diperbarui: 2 Januari 2016   12:44 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya selalu percaya bahwa ilmu pengetahuan dan al-hikmah bisa didapatkan kapan saja dan di mana saja. Seperti buku yang berjodoh dengan pembacanya. Atau murid yang mendapatkan pencerahan dari gurunya. Demikian juga yang saya alami pada selasa (29/12/2015), tanpa disangka dan direncanakan, saya berkesempatan belajar banyak hal dari Pak Yan Fitri Halimansyah yang menjabat sebagai Kapolrestabes Surabaya.

Kisahnya dimulai saat saya sedang leyeh-leyeh alias duduk santai setelah makan siang, sebuah panggilan masuk dari Mbak Avy yang merupakan Komandan BonekS -- komunitas kompasianer Surabaya. Beliau mengajak saya untuk berkunjung ke Mapolrestabes untuk bersilaturahim dengan Pak Yan Fitri yang memang sudah pernah saya temui saat kegiatan pertemuan blogger Surabaya dengan Bapak Kapolda Irjen Pol Anton Setiadji di sebuah warung kopi daerah Prapen. Bukan kebetulan juga bila Mas Arif Khunaifi -- kompasianer Surabaya, sedang ada urusan yang harus diselesaikan di Mapolrestabes. Jadilah saya menyanggupi untuk datang ke TKP jam 16.00.

Surabaya sore itu mendung pekat. Saya memacu kendaraan melewati beberapa ruas jalan Surabaya yang tidak terlalu padat. Kurang dari 20 menit, saya sudah sampai di Mapolrestabes. Di tempat parkir, bukan kebetulan juga saya langsung dihampiri Mas Arif Khunaifi yang ternyata baru saja sampai. Sementara butiran air dari langit mulai berjatuhan. Benar saja, saat sudah memasuki gedung utama Mapolrestabes, hujan pun turun dengan derasnya.

Memasuki gedung Mapolrestabes, seperti memasuki sebuah rumah tempo dulu jama Kolonial Belanda. Sebuah lonceng keemasan besar dari akhir abad ke-18 menyambut kami berdua sesaat memasuki pintu. Sementara semua perabotan mulai dari kursi, meja dan beberapa foto hitam putih, semakin mengesankan saya berada di jaman vintage.

Setelah melapor dan mengisi form keperluan di meja resepsionis yang petugasnya sebenarnya provost, saya dan Mas Arif mulai mengeksplorasi lobby gedung yang penuh dengan benda bersejarah. Mulai dari lonceng besar yang saya sebutkan tadi, sepeda patroli, pedang dari abad 19, hingga berbagai foto yang menggambarkan proses renovasi kantor Mapolrestabes Surabaya, menjadi semacam musium sejarah perjuangan.

Tanpa dinyana, Pak Yan Fitri keluar dari sebuah ruangannya dan mengahampiri kami yang sedang duduk di lobby. Rupanya beliau sedang sibuk melayani berbagai wawancara melalui handphone dari berbagai stasiun radio, seputar persiapan tahun baru. Namun beliau sempatkan untuk menyapa dan menyalami kami, sebelum melanjutkan wawancara via telepon. Sementara Mbak Avy yang mengajak saya, belum juga datang karena terjebak hujan deras.

Saat awal pembicaraan saya menanyakan perihal pelarangan knalpot motor bronk yang suaranya keras memekakkan telinga. Sudah jamak bila kaum muda berkonvoi di malam tahun baru dengan menggunakan motor berknalpot bronk ini. Pak Yan mengatakan bahwa hak kita sebenarnya dibatasi juga oleh hal orang lain. Hak pengguna motor untuk menggunakan knalpot brong, tetapi tidak boleh sampai melannggar hak orang lain. Polisi berkewajiban mengingatkan. Bukan orang yang beriman bila tidak mengingatkan, tegas Pak Yan Fitri.

Polisi yang Sayang Ibunya

Beliau memiliki seorang ibunda yang dikaruniai umur panjang lebih dari 90 tahun. Saya pun menanyakan apa kebiasaan beliau sehingga bisa berumur panjang. Pak Yan Fitri menyampaikan kalau ibundanya tersebut biasa makan dan minum sederhana, sholat dan mendoakan anak-anaknya.

Dalam kehidupannya, Pak Yan Fitri selalu berkonsultasi dan memohon doa restu ibundanya. Bila ada tugas atau sesuatu yang harus diselesaikan, Pak Yan Fitri akan pulang dan sungkem kepada Ibundanya. Baginya, beliau adalah milik ibunya. Sedangkan istri adalah miliknya. Beliau ingin menegaskan, bahwa sebagai anak, ibu adalah segala-galanya, dibandingkan keluarganya sendiri. Namun beliau bersyukur karena memiliki istri yang juga sayang dengan ibundanya. Benar juga, berapa banyak seorang pria mendapatkan istri atau sebaliknya, namun mereka tidak benar-benar sayang dan perhatian dengan mertuanya.

Rupanya Pak Yan Fitri di awal tahun 2016 ini mendapatkan anugrah dengan dipromosikannya beliau sebagai Wakapolda Kepri. Ini berarti Pak Yan akan pulang kampung dan bisa jauh lebih dekat dengan ibundanya. Kerinduan Pak Yan untuk bisa selalu dekat dengan ibunda rupanya diijabah oleh Allah SWT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun