Mohon tunggu...
chocomilk 1111
chocomilk 1111 Mohon Tunggu... Mahasiswi

Hallo nama ku Ranti. Aku anak bungsu dari 2 bersaudara. Rumahku di gresik sekarang aku lagi menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan negeri surabaya . Aku orang yang suka hal baru terutama dalam hal mencoba masakan - masakan baru. Hobiku tergantung mood tapi aku suka membaca terutama novel. Aku orangnya mudah akrab tapi juga mudah keserap energinya. Aku orangnya ceria sering jadi tempat curhat temen-temen hehehe. Sekian dan terimakasih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Euforia yang Menjerat: Minuman Keras di Tengah Hajatan Desa

7 Oktober 2025   16:30 Diperbarui: 7 Oktober 2025   16:12 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disetiap sudut desa, acara perayaan atau yang kita kenal dengan hajatan selalu menjadi tanda kebahagiaan dan kebersamaan. Irama musik yang mengalun gemuruh disertai tenda yang berwarna-warni berdiri megah, menciptakan suasana penuh keceriaan. Aroma khas hidangan tradisional turut memenuhi udara, menyatu dalam gelora sukacita yang terasa disetiap sudut.

Dibalik kemeriahan itu, terselip sebuah kebiasaan yang kian diterima sebagai hal yang lumrah "konsumsi minuman beralkohol" sebagai pelengkap pesta. Fenomena ini telah menjelma menjadi lebih dari sekedar tradisi, melainkan gejala sosial yang secara perlahan mengikis fondasi nilai moral dan kebersamaan dalam tatanan masyarakat.

Pada mulanya, kehadiran alkohol kerap dibingkai sebagai "pemicu suasana" untuk menciptakan euforia semu dalam perhelatan itu. Dengan dalih "agar lebih semarak"pun kerap digunakan untuk membenarkannya. Sayangnya, seiring waktu, batas tipis antara sekedar menikmati dan benar-benar tenggelam dalam mabuk kian kabur. Yang kemudian sering kita saksikan peristiwa-peristiwa tragis. Dimana sebuah hajatan yang mulanya bertujuan merajut silaturrahmi, justru berakhir dalam kepiluan. Perselisihan, luka bahkan tindakan kriminal yang merusak tatanan sosial.

Fenomena ini dapat ditelisik melalui lensa teori Disorganisasi sosial dalam sosiologi. Konsep ini menjelaskan bahwa tindakan menyimpang seringkali berakar pada melemahnya pengawasan dan kontrol sosial dalam suatu komunitas. Ketika sebuah masyarakat mulai menganggap perilaku negative sebagai suatu yang wajar dengan dalih tradisi atau kelaziman maka secara tidak sadar, mereka telah membiarkan norma-norma kolektif yang menjadi perekat sosial itu terkikis habis.

Ditinjau dari lensa psikologi sosial, fenomena ini dapat diuarai melalui teori konformitas. Dorongan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok seringkali mengalahkan keinginan pribadi. Banyak individu yang secara personal enggan mengonsumsi alcohol, namun merasa terpaksa mengikuti norma sosial yang berlaku dan dihantui oleh kekhawatiran akan dicap "kuper". Dalam dinamika kelompok, identitas personal mudah larut dalam arus perilaku kolektif yang terkadang irasional. Situasi ini melahirkan sebuah ilusi kebersamaan. Perasaan diterima dan menjadi bagian kelompok karena melakukan hal yang sama, meski di dalam hati menyadari bahwa tindakan tersebut keliru. Dalam jangka panjang, konflik batin ini berpotensi memunculkan dampak yang lebih serius, mulai dari penyesalan yang mendalam, ketergantungan pada validasi sosial, hingga berkembangnya kecanduan psikologis terhadap alkohol.

Ironisnya, hajatan yang sejatinya adalah representasi nyata dari gotong royong simbol kekeluargaan khas indonesia justru mengalami pergeseran makna. Saat alkohol mendominasi, esensi kebersamaan yang tulus pun bergeser menjadi sekadar wadah pelampiasan nafsu sesaat. Kondisi ini merefleksikan sebuah benturan budaya, dimana nilai-nilai luhur tradisional berbenturan dengan penerapan gaya hidup modern yang keliru. Perilaku minum-minuman keras, yang mungkin awalnya hanya aksesoris perayaan, kini disalahartikan sebagai pelarian dari himpitan ekonomi, tekanan sosial dan upaya pencarian jati diri yang semu.

Mengubah kebiaasaan ini memang tidak mudah, namun bukan mustahil jika berusaha semaksimal mungkin. Kunci utamanya terletak pada upaya restorasi pemahaman kolektif. Disinilah peran strategis para tokoh agama dan pemuda-pemudi desa dibutuhkan untuk mengembalikan khittah hajatan pada fungsinya yang suci sebagai media pemersatu, bukan arena untuk kehilangan kesadaran. Melalui pendekatan kultural dan edukasi terbukti lebih berkelanjutan daripada sekedar larangan. Sosialisasi mengenai dampak buruk alcohol, baik dari segi kesehatan mental maupun keretakan sosial, perlu disampaikan dengan metode yang kreatif dan relevan mulai dari kampanye dimedsos, workshop interaktif hingga obrolan ringan dikedai-kedai kopi.

Pada akhirnya kebahagian sejati dalam sebuah hajatan bukanlah berasal dari gelas-gelas yang memabukkan, melainkan dari kehangatan hati yang tulus dalam berbagi. Sudah waktunya komunitas melakukan regenerasi tradisi secara kolektif meninggalkan kebiasaan yang merusak dan menghidupkan kembali simbol gotong-royong yang menjadi inti dari tiap perayaan. Sebuah pesta semestinya menjadi cerminan rasa syukur, bukan pintu masuk bagi hilangnya nalar. Karena esensi sebuah sukacita yang abdi justru terpantri dalam kenangan akan tawa dan kebersamaan, bukan pada luka yang ditinggalkan oleh kemarahan dan kericuhan dibawah pengaruh alkohol.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun