Mohon tunggu...
Chiva Khaila Athmahdina
Chiva Khaila Athmahdina Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang

Suka membaca.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Efektivitas Dewan Pers dalam Menghadapi Fenomena Jurnalisme Klikbait dan Hoaks

12 Oktober 2025   18:05 Diperbarui: 12 Oktober 2025   18:05 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital seperti sekarang, informasi bertebaran di mana-mana cepat, deras, dan sering kali tanpa filter. Dalam situasi ini, banyak media tergoda untuk mengejar klik ketimbang kebenaran. Judul-judul bombastis, provokatif, dan kadang menyesatkan sengaja dibuat untuk menarik perhatian pembaca. Fenomena inilah yang disebut jurnalisme klikbait. Di sisi lain, arus hoaks terus membanjiri ruang publik, membuat batas antara fakta dan fiksi semakin kabur. Publik pun menjadi bingung: mana berita sungguhan, mana yang hanya sensasi? Di titik inilah peran Dewan Pers kembali dipertanyakan masih seefektif apa lembaga ini dalam menjaga integritas media di tengah banjir informasi palsu?

Dewan Pers sebenarnya punya posisi penting dalam ekosistem media Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, lembaga ini bertugas menjaga kemerdekaan pers, menegakkan kode etik jurnalistik, serta memfasilitasi penyelesaian sengketa antara media dan masyarakat. Selain itu, Dewan Pers juga melakukan verifikasi perusahaan pers agar publik bisa membedakan antara media profesional dan portal abal-abal yang sering jadi sumber berita palsu. Secara konsep, tugasnya jelas: menjadi penyeimbang antara kebebasan pers dan tanggung jawab etika.

Namun, dalam praktiknya, efektivitas Dewan Pers masih terbentur banyak kendala. Pertama, lembaga ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dewan Pers hanya bisa memberi teguran atau rekomendasi etik, tanpa wewenang menjatuhkan sanksi. Akibatnya, banyak media yang sudah ditegur tetap mengulangi pelanggaran yang sama. Kedua, jumlah media daring yang semakin menjamur membuat pengawasan menjadi sulit. Tidak semua media mau atau mampu diverifikasi, dan yang belum terverifikasi justru sering kali paling agresif memproduksi konten klikbait.

Masalah lainnya adalah rendahnya literasi media masyarakat. Banyak pembaca masih mudah tergoda oleh judul-judul sensasional tanpa mengecek isi berita. Akibatnya, media yang memainkan emosi publik justru lebih cepat viral dibanding media yang berusaha menyajikan fakta dengan akurat. Kondisi ini membuat upaya Dewan Pers terasa berat jika tidak diiringi peningkatan kesadaran kritis masyarakat. Selain itu, dunia digital yang terus berevolusi juga menantang efektivitas Dewan Pers. Pelanggaran etika kini tidak hanya terjadi di portal berita, tapi juga di media sosial, kanal YouTube, hingga platform video pendek wilayah yang belum sepenuhnya terjangkau regulasi Dewan Pers.

Meski demikian, lembaga ini tidak tinggal diam. Dewan Pers melakukan berbagai upaya seperti memperluas verifikasi media daring, mengadakan pelatihan kode etik jurnalistik, bekerja sama dengan Kementerian Kominfo dan kepolisian untuk menangani hoaks, serta menggerakkan program literasi media bagi masyarakat. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen Dewan Pers untuk beradaptasi dengan tantangan zaman, meski hasilnya belum sepenuhnya maksimal. Upaya ini ibarat membangun pagar di tengah arus deras: bisa menahan sebagian, tapi belum cukup kuat menahan semuanya.

Ke depan, Dewan Pers perlu memperluas pendekatan. Tidak cukup hanya menegur media yang melanggar etika lembaga ini harus menjadi motor literasi media nasional yang mendorong masyarakat agar lebih cerdas dalam memilah informasi. Selain itu, kerja sama antar lembaga juga penting antara Dewan Pers, pemerintah, akademisi, dan organisasi media agar pengawasan terhadap konten digital lebih terintegrasi. Jika langkah-langkah ini dilakukan, Dewan Pers bisa lebih efektif menjadi penjaga integritas jurnalisme di era yang serba cepat dan penuh distraksi.

Pada akhirnya, pertarungan melawan klikbait dan hoaks bukan hanya urusan Dewan Pers, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh ekosistem media. Dewan Pers bisa menjadi kompas moral, tapi arah kemudi tetap ditentukan oleh bagaimana media, jurnalis, dan masyarakat bersama-sama menegakkan kebenaran di tengah banjir informasi. Karena di era digital ini, menjaga etika jurnalistik bukan sekadar soal profesi, tetapi soal menjaga kepercayaan publik terhadap kebenaran itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun