Mohon tunggu...
Sadzikri
Sadzikri Mohon Tunggu... Pelajar -

Pelajar SMA | Sejarah adalah pelajaran favorit saya | Menyukai politik karena politik itu seni realis terbaik | Juga seorang penggemar budaya pop Jepang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Liburan Menjadi Tekanan

11 April 2018   17:39 Diperbarui: 11 April 2018   17:47 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hari libur (sumber: kliksamarinda.com)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak murid merasa bahwa sekolah dan belajar merupakan 'belenggu' yang mengikat kebebasan berekspresi mereka. Maka wajar ketika diumumkan bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah akan diliburkan karena beberapa hal, saya yakin bahwa murid-murid tersebut akan sangat senang. Hal ini dikarenakan 'belenggu' kewajiban yang ada akan hilang (meski hanya beberapa saat).

Pada awal masa liburan, segalanya terasa menyenangkan. Masih terasa atmosfer kebebasan dari 'belenggu' sekolah atau belajar. Namun, perubahan mulai terjadi setelah beberapa hari dimana mulai muncul rasa bosan terhadap libur itu sendiri.

Beberapa orang dapat menyiasati kejenuhan tersebut dengan bertamasya atau mengajak temannya untuk bermain bersama. Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku terhadap beberapa individu yang mempunyai social skill yang tidak cukup baik atau tidak memiliki keuangan yang cukup. Akibatnya, liburan dapat berubah menjadi tekanan dan berpotensi menyebabkan stress bahkan depresi.

Mengapa liburan dapat berubah menjadi suatu tekanan? Dalam pandangan penulis, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan liburan berubah menjadi tekanan.

Pertama, adalah suatu rahasia umum bahwa manusia akan jenuh jika terus menerus melakukan hal yang monoton. Hal ini dapat terlihat dari pola liburan era modern yang kebanyakan hanya diam di rumah dan melakukan rutinitas yang itu-itu saja, seperti makan, sholat, main, dan tidur. Apabila hal tersebut berlangsung terus menerus tanpa ada kegiatan lainnya, maka rasa jenuh akan muncul dengan sendirinya.

Kedua, Aturan yang berbenturan dengan keinginan, terutama mengenai aturan berpergian. Sudah sewajarnya apabila remaja ingin mencoba pergi ke suatu tempat secara mandiri. Namun, ada beberapa orang tua yang bersikap protektif agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan sehingga cukup ketat mengenai hak berpergian anaknya. Sayangnya, aturan tersebut terkadang dianggap mengekang oleh sang anak untuk berpergian sehingga dapat menimbulkan miskomunikasi yang menambah kejenuhan dalam liburan.

Ketiga, Tidak ada kawan, keuangan sedang surut. Inilah tipikal dilema yang muncul ketika liburan. Ada yang bisa hangout dengan temannya namun tidak memiliki dana yang cukup. Ada yang memiliki dompet tebal namun tidak ada kawan yang dapat diajak hangout. Walhasil, kejenuhan datang menghampiri karena tidak ada yang bisa dilakukan selain berdiam diri saja.

Bagaimana cara untuk mengatasinya? Ada beberapa opsi yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal-hal di atas. Berkomunikasi dengan orang tua merupakan cara yang baik untuk mengatasi miskomunikasi mengenai aturan yang dapat membuat jenuh. Mencari produktivitas selama masa liburan juga dapat membantu, seperti berolahraga, menulis, dll.

Masih banyak cara-cara lain untuk menghilangkan kejenuhan saat liburan, namun keberhasilan cara-cara yang ada ditentukan oleh individu itu sendiri. Ketika ia berhasil memanfaatkan cara-cara yang ada, ia akan merasa bahwa libur itu menyenangkan. Namun apabila ia tidak cukup mampu memanfaatkannya, ia akan merasa bahwa libur itu adalah suatu tekanan kedua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun