Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kenaikan Iuran JKN, antara "Ability to Pay" dan Tunggakan

30 Agustus 2019   00:38 Diperbarui: 30 Agustus 2019   06:45 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), periodenya akan berakhir Oktober 2019, yang sudah bekerja sejak 5 tahun yang lalu. Disebut juga DJSN Jilid II. Mengikuti istilah KPK. Jilid I berakhir Oktober 2014 yang lalu. Di akhir masa jabatan telah mampu meninggalkan legacy.

Dengan mengajukan hitungan kenaikan iuran JKN, bukan saja untuk PBI yang diamanatkan oleh UU SJSN, tetapi juga mampu membuat simulasi hitungan aktuaria untuk peserta non PBI, yang terdiri dari PPU, PBPU, dan BPI.

Perhitungan iuran non PBI yang diajukan DJSN memang tidak ada kewajiban regulasi untuk melakukan, tetapi sudah dapat diduga bahwa tidak akan ada instansi lain yang melakukannya, maka dibuatlah hitungan komprehensif dikaitkan dengan hitungan iuran untuk PBI.

DJSN terpacu bersemangat kembali membuat hitungan besaran iuran PBI dan Non-PBI, yang diminta DPR untuk dipaparkan dalam rapat gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR, pada tanggal 27 Agustus 2019 lalu.

DJSN sudah lama patah hati kepada pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, karena usulan kenaikan iuran yang sudah diajukan dua kali (tahun 2013 dan tahun 2015) masing-masing sebesar Rp 27 ribu/POPB, dan Rp 36 ribu/POPB, tidak pernah diperhatikan pemerintah alias gatot (gagal total).

Tahun 2013, DJSN mengajukan Rp 27 ribu, angka yang keluar dari pemerintah Rp. 19.225/POPB. Tahun 2015, DJSN mengajukan angka perhitungan kenaikan iuran PBI Rp 36 ribu , keluar angka dari kantong pemerintah Rp. 23 ribu/POPB.

Akibatnya sudah diramalkan terjadi defisit DJS yang seperti ibarat bola liar yang hampir tidak dapat dikendalikan.

Mungkin Ibu Menkeu SMI, tidak mau kehilangan tongkat sampai 3 kali atau alasan lain hanya beliau yang tahu. Saat DJSN mengajukan angka kenaikan yang hampir dua kali lipat untuk PBI (dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu/POPB), untuk rawat inap kelas III.

Demikian juga untuk PBPU dan PB, hampir dua kali lipat juga dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu/POB. Untuk rawat inap kelas II. Semula dibandrol Rp. 51 ribu dinaikkan menjadi Rp 75 ribu/POPB. Untuk kelas I juga naik 50%, dari Rp 80 ribu menjadi Rp 120 ribu/POPB.

Ibu SMI tidak mau kalah dengan DJSN. Untuk non-PBI, rawat inap kelas II, diusulkan naik menjadi Rp 120 ribu/POPB, jauh melebihi usulan DJSN yang sebesar Rp 75 ribu. Sementara untuk kelas I, naik melesat ke angka Rp 160 ribu naik tajam dari usulan DJSN sebesar Rp 120 ribu.

Apapun alasan kenaikan lompatan besar yang diusulkan Menkeu sudah kita ketahui bersama. Intinya beliau tidak mau lagi dipusingkan urusan defisit setiap tahun. Angka tersebut bahkan akan memberikan surplus Rp 4,1 triliun pada tahun 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun