Belakangan ini viral postingan terkait sampah berserakan di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta usai hajatan besar pada akhir pekan lalu. Melansir Kompas.com (26/11/2022), tak sampai sehari, acara tersebut memproduksi sampah hingga 31 ton.
Tidak terutama soal jumlah sampah yang tidak sedikit, yang memang diproduksi oleh manusia yang jumlahnya tak sedikit pula. Yang menjadi perhatian luas terutama bagaimana sampah itu sungguh-sungguh disampahkan. Juga lebih dari 500 orang pasukan kebersihan harus turun tangan untuk membereskan sisa-sisa kertas dan plastik yang dicampakkan begitu saja.
Saya membayangkan, seandainya acara itu digelar di Jepang atau dihadiri orang Jepang, tentu jalan ceritanya akan berbeda. Seperti apa yang terjadi di Qatar, tempat pesta akbar sepak bola empat tahunan tengah mencuri atensi dunia.Â
Orang Jepang, baik pemain maupun fan sungguh berpegang pada etos kebersihan.
Kata etos tidak lagi asing di telinga kita. Entah sudah berapa banyak kali kita mendengar atau bahkan menyebutnya.
Entah disadari atau tidak, Â kata itu sebenarnya mengandung makna yang dalam dan konsekuensi yang besar, ketika kita menggunakannya tidak sekadar slogan atau basa-basi belaka.
Merunut definisi etimologis, etos berasal dari bahasa Yunani yang mengandung arti kepribadian, sikap, watak, karakter atau keyakinan akan sesuatu.
Pengertian itu kemudian dipegang hingga saat ini. Maknanya meluas dari maksud "ethos" yang pertama kali diungkapkan filsuf Yunani Antik, Aristoteles yang mengacu pada karakter atau kepribadian pria, dalam kaitannya dengan gairah dan kehati-hatian.
Etos itu menunjuk pada sesuatu yang sudah tertanam dan menjadi fondasi sikap, perilaku, keyakinan, prinsip, hingga standar.
Kemudian kita mengenal sebutan etos kerja sebagai cermin kedisiplinan, semangat, dan produktivas seseorang. Â Etos kerja tinggi dan sebaliknya kemudian dilihat dari tingkat keseriusan, kedisiplinan, ketekunan, hingga penghayatan akan pekerjaan itu sendiri entah sebagai hal yang membebani atau tidak.
Agar tidak terlalu melebar, baiklah saya batasi kata tersebut dalam konteks Piala Dunia 2022 yang tengah berlangsung di Qatar.
Ada pemandangan menarik dalam dan setelah pertandingan Jerman kontra Jepang di Khalifa Stadium, Doha, Rabu (23/11/2022) malam WIB.
Jepang yang sempat tertinggal melalui gol penalti Ilkay Gundogan di menit ke-33 kemudian melakukan "comeback" sensasional. Dua pemain yang merumput di Jerman menjadi pembeda. Mereka adalah Ritsu Doan dan Takuma Asano yang masing-masing mencetak satu gol di menit ke-75 dan 83.
Kedua pemain itu memang menjadi buah bibir. Nama mereka tercatat di papan skor. Namun, kemenangan sensasional Jepang yang kurang diunggulkan sebelum laga adalah kemenangan bersama. Hasil kerja sama dan kerja bersama.
Pelatih Jepang, Hajime Moriyasu, membuka rahasia di balik sejarah itu. Melansir The Guardian, pelatih 54 tahun itu menyebut kemenangan itu karena dua faktor. Teknis dan non-teknis.
Jepang mencoba sabar untuk tidak langsung bereaksi ketika Jerman langsung memilih bermain menyerang. Mereka tidak mau melawan agresivitas dengan agresivitas. Meski mereka sebenarnya sudah berencana menggunakan pendekatan tersebut.
Kesabaran itu kemudian memberi mereka momentum. Kesabaran yang membuahkan hasil manis. Tanda kecerdasan (taktikal) sebagai kata kunci yang terus diulang-ulang Moriyasu. Â Kecerdasan yang ditopang oleh pengalaman sejumlah pemain mereka yang berkarier di Bundesliga dan Liga Inggris.
Tidak hanya itu. Jepang pun sadar postur tubuh mereka tidak bisa disandingkan dengan Der Panzer. Namun, keterbatasan itu bukan halangan.
Jepang tampil dengan etos yang hampir selalu terlihat di setiap pemain mereka di berbagai jenis olahraga. Kerja keras.
Mereka terus bekerja dengan gigih untuk beradu kecepatan dan berani berduel udara meski lawan sesungguhnya memiliki modal tinggi badan yang lebih mumpuni.
Apa yang kemudian terjadi? Para Samurai Biru bisa memenangkan pertempuran yang sebelumnya diprediksi tidak akan mereka menangkan.
Tidak hanya kerja keras. Di luar lapangan, seusai laga, tangkapan layar kamera kemudian menyiarkan peristiwa yang membuat dunia berdecak kagum.
Kemenangan yang baru saja diraih tidak menenggelamkan para penggemar dalam euforia. Para fan tidak dininabobokan oleh sejarah yang baru saja diukir tim kesayangan.
Mereka sadar tangguh jawab mereka belum selesai dengan berakhirnya pertandingan. Mereka menunjukkan etos yang sudah mandarah daging. Etiket sopan santun dan tanggung jawab.
Biasanya, seusai pertandingan, apalagi selevel Piala Dunia, maka para penggemar baik dari kubu pemenang atau pesakitan, akan kompak meninggalkan stadion dengan menyisahkan sampah.
Sisa dari makanan dan minuman yang baru saja mereka nikmati dibiarkan tergeletak begitu saja. Mereka menganggap bukan tanggung jawab untuk membereskan. Ada orang lain yang bertugas untuk itu.
Namun, anggapan naif itu tidak ada di kubu suporter Jepang. Di tengah suasana hati yang berbunga-bunga atas kesuksesan membungkam pemilik empat gelar Piala Dunia, para penggemar dengan penuh kesadaran memungut sampah.
Mereka memunguti platik atau kemasan makanan dan minuman lalu dimasukan ke kantong plastik berukuran besar. Bungkusan berwarna biru berisi sampah itu kemudian diikat rapih dan diletakan di atas bangku penonton.
Tentu pemandangan ini bukan insidental dan parsial. Para fan itu tidak sedang mencari perhatian dan ingin memanen pujian dunia.
Tidak hanya para penggemar di lapangan yang melakukannya. Para pemain dan staf Jepang melakukan yang sama di ruang ganti pemain. Pakaian bekas pakai dilipat dan ditata lagi secara rapih. Tidak lupa mereka meletakan potongan kertas dengan tulisan yang kurang lebih berarti TERIMA KASIH.
Hebatnya, tindakan ini para fan praktikkan ketika berada di stadion. Meski bukan Jepang yang bertanding, para penggemar tetap menunjukkan sikap yang sama seusai pertandingan pembuka antara tuan rumah Qatar menghadapi Ekuador.
Mereka dengan sukarela membagikan tas ramah lingkungan kepada para penonton. Tas warna biru diletakkan di setiap bangku penonton. Tujuannya jelas. Membantu dan mengingatkan para fan agar memperlakukan setiap potongan sampah secara bertanggung jawab.
Hal yang sama mereka lakukan pada edisi sebelumnya, empat tahun lalu di Rusia. Saat itu, terjadi dalam suasana hati yang buruk. Tim pujaan baru saja dikalahkan Belgia 3-2 di babak 16 besar. Di ruang ganti pemain, pemandangan yang sama terjadi. Tulisan SPASIBA tak lupa digoreskan. Ya, terima kasih.
Saya berani katakan ini sebagai etos, prinsip atau nilai yang sudah tertanam dalam diri orang Jepang. Hal tersebut didukung oleh penelitian seorang profesor sosiologi di Universitas Osaka, Scott North.
Pada 2018 ia sampaikan kepada BBC tentang etos masyarakat Jepang. Tanggung jawab akan kebersihan adalah bagian dari budaya. Ditanamkan sejak usia dini. Dibudayaka di berbagai segi kehidupan. Kemudian terkristalisasi dalam setiap derap pertumbuhan dan perkembangan hidup dari generasi ke generasi.
"Bersih setelah pertandingan sepak bola merupakan perpanjangan dari perilaku dasar yang diajarkan di sekolah, di mana anak-anak membersihkan ruang kelas dan lorong sekolah mereka," tandas Scott melansir bbc.com.
Jepang, baik tim maupun para penggemar sudah memberikan teladan. Mereka menunjukkan etos akan kebersihan dan kerapihan yang dilandasi rasa tanggung jawab dan penghargaan.
Di laga berikutnya Jepang akan menghadapi Kosta Rika, tim yang dilumat Spanyol tujuh gol tanpa balas. Selanjutnya meladeni pemuncak grup sementara, Spanyol di partai pamungkas Grup E.
Apa pun yang terjadi kemudian, Jepang sudah memberi warna tersendiri. Mereka tidak hanya tampil sebagai tim pemenang di dalam lapangan, tetapi juga di luar lapangan.
Walau misalnya pada akhirnya mereka tak bisa melangkah begitu jauh, Jepang sesungguhnya sudah memenangkan hati banyak orang.
Saya membayangkan, bila etos yang sama dihidupi masyarakat dunia umumnya dan Indonesia khususnya, maka berita seputar gunung sampah dan limbah yang kian memprihatinkan, bencana alam seperti banjir dan polusi yang kian menjadi-jadi, dan masih banyak ekses mengerikan dari sampah, tidak akan semasif saat ini.
Memang untuk menanamkan etos dan membudayakan hal seperti itu butuh sistem, pembiasaan, waktu, dan proses yang jelas tidak singkat apalagi instan.
Sepak bola sekiranya bisa menjadi instrumen untuk mengkampanyekan nilai luhur itu. Cabang olahraga dengan magnet paling kuat yang memiliki penggemar terbanyak di seantero jagad seharusnya tidak hanya lekat dengan perkelahian, judi, dan mafia, tetapi juga hal-hal positif seperti yang ditunjukkan dengan gamblang oleh Jepang.
Oh ya, harapan tersebut sepertinya belum bisa berjalan di Tanah Air. Mengapa? Kompetisi sepak bola kita 'kan sedang mati suri, bung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H