Mohon tunggu...
Ade Chandra
Ade Chandra Mohon Tunggu... -

Hot choco, please!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Desember

13 Agustus 2015   12:55 Diperbarui: 13 Agustus 2015   12:55 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin bulan Desember berhembus lembut. Entah mengapa, dihidung saya angin bulan Desember memiliki aroma tajam yang menghantarkan kenangan, pertemuan, teh manis, kado, perpisahan, dingin  dan segala hal yang selalu membuat saya ingin cepat-cepat bergelung diselimut lalu menenggelamkan kepala saya dalam dalam diatas bantal. Berharap terbangun dibulan Januari, Februari atau bulan apa saja asal bukan Desember.

***

Yang pertama mata saya tangkap adalah sepasang mata almond dengan warna abu-abu, rambut keriting sebahu. Saya kebingungan. Pandangan mata saya edarkan keseluruh ruangan. Bukan, ini bukan kamar saya. Terakhir yang saya ingat, saya sedang berjalan diatas trotoar dengan menahan nyeri lambung yang sakitnya seperti tertusuk pisau karatan.

“kamu pingsan tadi” kata perempuan itu seraya lembut menyentuh bahu saya.

Saya menatapnya lagi. Mata almond itu sungguh bersahabat. Kecil dan bersinar. Terang juga lembut. Sepertinya dia bukan orang jahat. Senyumnya tulus. Saya mencoba mengangkat badan untuk duduk.

“sudah istirahat aja dulu, sebentar aku ambilin teh manis” perempuan itu beranjak dari sisi ranjang tempat saya terbaring. Postur tubuhnya terbilang imut, kurus dengan tinggi sekitar 160cm. Terbalut kaos oblong motif gradasi yang agak oversize. Saya menarik nafas.

***

Angin bulan Desember berhembus lembut waktu itu. Tapi bagi saya seperti pukulan keras yang hampir mematahkan tulang leher saya. Wajah ayah terlihat kencang. Matanya seakan siap mengeluarkan lahar paling panas. Saya tertunduk lesu. Menggigit bibir. Perlahan saya kumpulkan keberanian untuk mengangkat wajah dan menatapnya.

“maaf” cuma kata itu yang mampu saya keluarkan.

Ayah mengepalkan tangannya kencang-kencang. Dengan sisa-sisa keberanian saya paksakan untuk menatap mata ayah. Dan...

Plak! satu tamparan tepat menghantam pipi kiri saya. Emosi ayah sudah melewati batas puncak. Saya mengerti betapa marah dan kecewanya ayah atas penolakan saya untuk dinikahkan dengan anak dari kenalan baik ayah. Dan yang paling membuat hancur hatinya lagi adalah pengakuan saya yang harusnya saya pendam selamanya. Tidak seharusnya diucapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun