Mohon tunggu...
Chandra Budiarso
Chandra Budiarso Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Iseng

Buah Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Masih Punya Beban

19 Agustus 2020   12:26 Diperbarui: 19 Agustus 2020   12:31 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (Sumber : Instagram @Jokowi)

Jika kita kembali mengingat-ingat apa yang selalu digembar-gemborkan oleh Jokowi selama masa kampanye dan mencocokannya dengan keadaan saat ini, maka hasilnya sangatlah berbeda.

"Saya sudah tidak punya beban"

Kurang lebih seperti itulah kalimat beliau ketika menjelaskan kepada para pemilih mengapa mereka harus memilihnya kembali pada periode kedua. Dengan diksi "tidak punya beban", maka yang ada dibenak para pemilih pada umunya (atau saya setidaknya), Jokowi akan habis-habisan menerobos apapun yang menghalangi jalannya untuk membangun Indonesia. Namun, tidak perlu menunggu lama bagi para pemilihnya untuk kecewa. Jangankan seratus hari bekerja, hari ketika beliau mengumumkan kabinetnya saja banyak masyarakat (lagi-lagi, setidaknya saya) yang kecewa. Bukannya memberi sinyal untuk ngegas, kabinet pilihan Jokowi tetap saja berbau politik.

Namun, mengingat-ingat kebiasaan Jokowi yang sering sekali melakukan reshuffle, maka saya berasumsi bahwa pemilihan anggota Kabinet Indonesia Maju adalah salah satu langkah politik untuk meredakan suasana dualisme yang terjadi lima tahun terakhir. Tak tanggung-tanggung, saingan utamanya selama ini ditarik kedalam jajaran kabinet.

"Lihat saja, nanti juga reshuffle" itu yang ada dibenak saya.

Satu tahun berlalu dan pandemi menimpa Indonesia.

Sejak awal covid menimpa Wuhan pada Desember 2019, pemerintah banyak sekali mengeluarkan pernyataan yang terkesan meremehkan. Hal tersebut menuai reaksi publik yang kemudian mengkritisi sikap pemerintah. Sampai pada akhirnya Bulan Maret 2020, Jokowi menyatakan kasus pertama di Indonesia. Situasi semakin kacau dan pemerintah kewalahan.

Puncaknya adalah kemarahan Jokowi dalam rapat kabinet 18 Juni lalu. Para pengamat politik beranggapan bahwa kemarahan tersebut adalah pra-kondisi dari reshuffle yang akan dilakukan Jokowi. Publik pun kian gencar mendesak Jokowi untuk melakukan reshuffle kabinetnya, melihat kinerja penanganan covid yang buruk oleh pemerintah.

"Benar kan.." saya membenarkan prediksi saya sejak awal tentang reshuffle.

Namun sampai artikel ini ditulis, belum ada tanda-tanda reshuffle yang akan dilakukan oleh Jokowi. Bahkan pada bulan Juli lalu, isu mengenai reshuffle kembali direm oleh pihak istana melalui Pratikno.

"Dalam waktu yang relatif singkat, kita melihat progres yang luar biasa di kementerian/lembaga, antara lain bisa dilihat dari serapan anggaran yang meningkat, program-program yang sudah mulai berjalan. Artinya, teguran keras tersebut punya arti yang signifikan" kata Pratikno saat menjawab pertanyaan soal reshuffle kabinet Bulan Juli lalu.

Lalu, benarkah tidak akan ada reshuffle? Atau jika pun ada, akankah tetap bersifat politis atau justru sebaliknya? Apakah akan ada komposisi menteri yang ideal dan murni tanpa "campur tangan" politik?  

Jawabannya tidak. Keseimbangan politik yang ada didalam kabinet akan tetap diperhitungkan.

Mengapa? Karena Jokowi masih punya beban politik tahun 2024.

Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, beban apa yang dimiliki Jokowi? Toh dia tidak akan terpilih lagi. Pun, dia bukan ketua partai. Lalu beban apa yang dibawa Jokowi?

Beban untuk memilih penerusnya.

Jokowi bukanlah ketua partai. Maka dari itu, Jokowi harus giat berkompromi dengan partai-partai politik. Jokowi memiliki beban untuk memastikan bahwa penerusnya pada tahun 2024 nanti akan tetap melanjutkan pembangunan yang digagas olehnya. Yang paling besar adalah pemindahan Ibu Kota Negara.

Pemindahan Ibu Kota Negara adalah gagasan yang sudah sejak lama digagas, namun baru pada periode ini saja akan benar-benar dijalankan. Proyeknya bukan perkara mudah. Bukan saja sulit, namun proyek semacam ini juga tidak mungkin selesai dalam dua periode kepemimpinan seorang Presiden. Beban inilah yang ada di pundak Jokowi sekarang.

Indonesia bukan negara seperti China atau Vietnam dengan sistem Single Party Country (Negara Satu Partai). Juga bukan seperti Amerika, yang meskipun sama-sama negara demokrasi, namun memiliki hanya dua partai politik. Indonesia, dilain sisi, memiliki banyak sekali partai politik (yang inheren dengan banyak kepentingan). Maka saya yakin betul bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi sekarang ini tidak lepas dari kompromi politik untuk kepentingan pembangunan yang sudah digagas olehnya selama ini.

Jokowi memiliki beban untuk mengawal proses pembangunan, dan satu-satunya cara mengawal sebuah mega proyek semacam ini adalah dengan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada orang yang tepat. Jalannya adalah melalui politik.

Akan lebih mudah bagi Jokowi untuk terlihat populer dengan menghantam segala bentuk intrik politik. Beliau bisa saja melepaskan beban itu dan berkata "Yang penting saya sudah melakukan yang terbaik di periode saya. Selanjutnya terserah". Jika pemikiran Jokowi seperti itu, proyek pemindahan ibu kota bisa saja dihentikan, mangkrak, dan menjadi sarang korupsi dikemudian hari. Saya yakin, tidak ada yang mau kasus korupsi e-KTP yang terjadi beberapa tahun lalu terulang kembali.

Kabar baiknya, Jokowi tidak melepaskan beban itu untuk menjadi populer. Visinya tentang Indonesia maju tahun 2045 benar-benar dipikirkan matang-matang dan beban itu kembali ia pikul. Konsekuensinya, Jokowi harus menjadi manusia politik.

Saya sendiri sudah pasrah. Imajinasi saya mengenai kabinet impian sudah saya kubur dalam dalam, bersamaan dengan terbukanya mata saya terhadap realitas politik di Indonesia.  

Bagaimanapun, seperti inilah Jokowi sekarang. Branding dirinya sebagai antitesis politik mainstream perlu ditinggalkan. Setidaknya yang dapat diharapkan dari Jokowi sekarang adalah keberaniannya untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak populer dan demi kepentingan jangka panjang.

Terlepas dari berbagai dinamika yang terjadi, inilah kenyataan yang perlu dihadapi Bangsa Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi. Kita tidak akan bisa seperti China atau Vietnam, karena mereka memiliki sistem pemerintahan satu arah. Indonesia, dilain sisi, memiliki sistem pemerintahan segala arah, dimana semua orang bebas untuk berbicara dan mengkritisi kebijakan (terlepas nantinya diterima atau tidak).

Satu hal yang perlu saya tekankan,

bahwa...

Inilah konsekuensi demokrasi...

Dan kita hanya perlu menikmatinya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun