Tepat sepekan setelah ulangan harian terakhir dilaksanakan, semua hasil ulangan yang telah dikoreksi dan dinilai kami terima. Aku dapat memperoleh gambaran perkembangan nalar anakku dari kata, sekumpulan kata, atau kalimat jawaban-jawaban anakku atas soal-soal dari gurunya.
Namun, aku sempat mengernyit saat membaca jawaban anakku atas pertanyaan yang berisi, "Suatu hari kamu berada di tepi jalan raya yang ramai lalu lalang kendaraan bermotor melintas.
Di sebelahmu ada seorang nenek tua yang lama berdiri ragu hendak menyeberang. Sebagai anak yang peduli dengan sesama, apa yang kamu lakukan terhadap nenek tua tersebut agar beliau dapat menyeberang jalan raya dengan nyaman?"
Anakku menjawab dengan kalimat, “Saya biarkan saja.”
Setelah kutelisik alasan anakku menjawab soal seperti itu, ia menyatakan bahwa dirinya sendiri takut menyeberang jalan raya sendiri. Apalagi menyeberangkan seorang nenek yang ia belum ia kenal.
Dari peristiwa ini, baru kusadari ternyata anakku yang nomor empat ini tidak pernah kusempatkan membiasakan mandiri dalam bimbingan dan pendampinganku untuk menyeberangi jalan raya.
Namun, ketika kudorong untuk menyampaikan halnya berkaitan dengan jawaban atas soal ulangan harian kepada Pak Guru Kelasnya, ia nyatakan serupa dengan alasan yang pernah ia ungkapkan sewaktu kelas III. Anakku menyalahkan sendiri jawaban yang ia sajikan pada ulangan harian mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraannya.
Ia turut menyetujui jawaban yang dinilai benar oleh Pak Gurunya meski teman-teman anakku ada juga yang belum berani menyeberang sendiri di jalan raya yang ramai lalu lintas berlalu lalang. Begitu pula praktik kepedulian anak-anak seusia anakku pada realitas kehidupan di sekitar jalan raya.
Setelah dua kali peristiwa soal ulangan harian anakku ini dan potensi varian jawaban anak dalam pembelajaran yang mengawal pendidikan karakter, perlu ada dialog tulus.
Baca: Ketika Kejujuran Diuji, Apa yang Akan Kita Lakukan?
Apalagi kuyakini pula, bila terjadi perulangan kekhilafan yang serupa tentu ada potensi dampak psikologis atas retaknya kejujuran anak jika tidak segera ditemukan solusinya. Kuikhtiarkanlah komunikasi dengan Guru Kelas dan Kepala Sekolah melalui dialog penyadaran.