Mohon tunggu...
Chairil Anwar B.
Chairil Anwar B. Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Kasar

Dilihat dari sisi manapun, rasanya tak ada yang menarik dari diri saya. Karena itu, ada baiknya bila saya abaikan saja bagian ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah dan Kerbau Besi

6 Juni 2023   22:45 Diperbarui: 6 Juni 2023   22:51 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tapi saya sampaikan juga keinginan ayah kepada saudara-saudara saya yang tinggal jauh dari rumah.

"Nanti kita usahakan," kata abang saya yang paling tua.

"Berapa harganya?" tanya abang saya yang nomor dua.

"Kakak sedang tidak punya uang," kata kakak saya.

"Ayah dirumahkan saja," kata abang saya yang nomor tiga.

Karena tidak ada kepastian dari saudara-saudara saya, dan karena racauan ayah semakin lama semakin panjang, saya menemui Bang Dadu, berharap ia mau menyewakan traktor miliknya. "Mengapa tidak?" jawabnya. Saya berterima kasih kemudian menemui ayah saya di rumah. Ia sedang duduk di dapur. Matanya memandang ke luar jendela. Kaki bukit, petak-petak sawah, pematang, genangan air, warna hijau, angin berembus, burung-burung terbang, orang-orangan sawah bergoyang... saya jadi lupa untuk apa saya menemuinya.

Berdiri di belakang ayah, saya jadi ingat pendiri PUN-PUN, Jon Jandai, lelaki unik dari Thailand. Ia petani biasa yang punya pemikiran luar biasa. Ayah, secara subjektif, juga luar biasa. Ia sudah tua dan masih ingin bekerja. Mimpinya tentang kerbau besi ia dapat setelah melihat Bang Dadu pulang dari kota, dan sejak itu ia meracau. Setiap kali ia meracau, saya membayangkan ia sedang menunggang kerbau besi dengan sebatang rokok terselip di bibirnya. Begitu selesai membajak sawah, ia akan berkeluh-kesah tentang bantalan tempat duduknya yang terlalu tipis. "Ini harus diganti," katanya, lalu memandang tanah yang baru saja ia bajak dengan mata tuanya.

Dalam bayangan saya, ketika saya menatap mata ayah, mau tidak mau saya ingat lirik-lirik lagu Ebit G. Ade. Kadang-kadang saya menyanyikan lagu itu sambil lalu:

...

Ayah

Dalam hening sepi kurindu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun