Biaya hidup terus meningkat dan perkembangan zaman memunculkan kebutuhan baru yang tidak ada sebelumnya.
Jumlah populasi manusia yang terus meningkat membuat permintaan atas kebutuhan naik dan persaingan mendapatkan lowongan pekerjaan menjadi ketat, ujung-ujungnya kenaikan gaji kalah terhadap kenaikan harga barang.Â
Ditambah lagi dengan kehadiran pandemi COVID-19, semakin terpampang nyata bahwa biaya hidup itu tidak murah.
Jangankan mengejar kenyamanan, hidup biasa saja pun tidak murah. Biasa di sini artinya kita berhemat tetapi tidak sampai ke taraf yang ekstrim, yaitu mengonsumsi makanan dengan kandungan gizi yang jelas-jelas kurang apalagi sampai menerapkan prinsip "makan ora makan asal kumpul".Â
Saya juga tidak mengajak kita untuk berpikir bahwa tidak menabung itu tidak apa-apa karena derita hari ini hanya untuk hari ini dan Tuhan pasti akan mendatangkan rezeki untuk hari esok.
Esai ini mengajak kita untuk berpikir mengapa sebagian orang (khususnya pria) kini memilih untuk menikah di usia yang lebih matang.Â
Ada di antara mereka yang sebelumnya telah berusaha mencari pasangan tetapi belum melangkah ke jenjang yang lebih serius, lagi pula sulit untuk langsung menemukan seseorang yang benar-benar pas satu sama lain.Â
Akan tetapi, tidak sedikit pula yang memilih untuk tidak berusaha mencari sama sekali alias menikmati kesendirian. Jika kelompok ini ditanya apa sebabnya, judul esai ini bisa menjadi salah satu jawaban yang mungkin.
Pacaran itu bukan soal menunjukkan bahwa seseorang "laku di pasaran" dan menarik di hadapan lawan jenis, juga bukan soal rasa romantis-romantisan.Â
Saya mengerti bahwa anak-anak SD zaman sekarang ada saja yang sudah punya pacar, bahkan satu sama lain sudah memanggil papi dan mami. Akan tetapi, ketika saya sekolah, diajarkan bahwa pacaran itu adalah masa penjajakan ketika sepasang manusia merasa bahwa pasangannya cocok untuk dibawa ke jenjang pernikahan dan selama masa tersebut mereka mempersiapkan diri untuk menerima kelebihan serta kelemahan masing-masing.