Saya merasa aneh dengan media Mainstream Indonesia yang selalu mengkomunikasikan peristiwa ini sebagai sebuah polemik administrasi wilayah, ketimbang risiko disintegrasi  wilayah  dan nasionalisme dan persatuan Indonesia, karena sejarah kelam antara pemerintah  pusat dan rakyat Aceh.
Coba kita Analisa mungkin pendapat saya terlalu lebay.
Sejarah mencatat  bahwa Aceh dan Pemerintah Pusat  sering bersitegang dengan  pulau Sumatera  sejak pemerimtah Bung Karno karena ketidakadilan dan pemerataan Pembangunan Wilayah Sumatera.
Â
DEWAN GAJAH SUMSEL, PRRI SUMBAR
 Sebuah Hubungan yang Berliku.
Hubungan antara Aceh, Sumbar bahkan Sumsel dengan pemerintah pusat selalu diwarnai oleh kontestasi kekuasaan, nasionalisme daerah, dan konflik kepentingan. Dari era kolonial, pemberontakan DI/TII, PRRI hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Aceh telah menunjukkan resistensi kuat terhadap dominasi pusat, baik karena faktor ekonomi maupun sejarah politiknya. Tercatat dalam sejarah bahwa pulau Sumatera, termasuk Sumatera Selatan juga pernah berkonflik dengan Pemerintah Pusat, Â dengan berdirinya Dewan Gajah, pada periode Panglima Perang Teritorium II Sriwijaya.
Kini, sengketa empat pulau Aceh yang ditetapkan masuk Sumatera Utara kembali memantik luka lama disintegrasi dengan menguji integritas nasional dan kepercayaan terhadap pemerintah pusat. Jika keputusan ini tidak ditangani dengan transparansi dan keadilan, maka dapat memperkuat sentimen separatisme  dan perpecahan, memperdalam ketidakpuasan, dan berpotensi menghidupkan kembali aspirasi otonomi yang lebih luas, memunculkan negara Sumatera yang dulunya sempat didukung juga oleh Sumitro Joyohadikusumo, mereka mungkin sudah mewacanakan jika Sumatera merdeka mungkin bisa semakmur negara negara Teluk, karena ekonomi sumberdayanya melimpah, tetapi karena kecintaan politisi asal Sumatera kala itu yang lebih mengutamakan persatuan suara itu kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Belajar dari Sejarah Ketegangan dari  Dari Kolonialisme hingga MoU Helsinki
ACEH TIDAK PERNAH DIJAJAH: Aceh sebagai Simbol Perlawanan
Sejak abad ke-16, Kesultanan Aceh telah menjadi kekuatan maritim utama di Asia Tenggara, menolak dominasi VOC dan Belanda. Perang Aceh (1873-1904)** adalah salah satu perang kolonial terpanjang dan paling berdarah, memperlihatkan ketahanan politik dan militer Aceh dalam menghadapi kekuatan besar, secarah harafiah Aceh tidak pernah dijajah medkipun Teuku Umar, Tjut Nyak Dien atau Panglima panglimanya ditangkap dan diasingkan.
Ketika Indonesia merdeka, Aceh berharap mendapatkan status istimewa, tetapi keputusan pemerintah pusat yang menggabungkan Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara tanpa konsultasi menimbulkan ketidakpuasan. Hal ini menjadi pemicu awal ketegangan dengan Jakarta.
DAUD BEUREUEH DAN KETIMPANGAN PUSAT DAERAH
Pada  tahun 1953, Teungku Daud Beureueh mendeklarasikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh. Pemberontakan ini berakar pada rasa kecewa terhadap pemerintah pusat, yang dianggap mengingkari janji untuk memberikan Aceh otonomi berbasis syariat Islam.
Meskipun akhirnya DI/TII mereda pada 1962, konflik ini menunjukkan bahwa Aceh memiliki ketahanan ideologis dan politik yang unik dibanding daerah lain di Indonesia.
ACEH MERDEKA
 Nasionalisme yang Berujung pada Konflik Bersenjata
Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bentuk resistensi terhadap pemerintahan Orde Baru. GAM berargumen bahwa pemerintah pusat hanya mengeksploitasi sumber daya Aceh tanpa mengembalikan manfaat yang sepadan kepada rakyat Aceh