Subuh pukul 05:00, Nick putraku menelpon dari kapalnya di tengah lautan. Ada apa gerangan? Apakah ada suatu hal penting? Tidak seperti biasanya ia menelpon sepagi itu. Pikiran telah melayang kemana-mana.
Hari itu Nick memasuki tahun ke-2, bulan ke-7 bergabung dengan satu perusahaan di Eropa. Tidak kuduga bahwa suatu ujian kehidupan menerpa ketika semangatnya melambung tinggi, mencari jati diri.
Ia menjalin cinta dengan kawan sekelas saat studi di sekolah tinggi. Renita, perempuan belia ini meninggalkan begitu saja tanpa kabar. Inilah penyebab ia jatuh pertama kali dalam perjalanan hidupnya.
Nick kelimpungan mengontak pacar, sama sekali tak dapat dihubungi. Sang pacar memblokir semua akun di media sosial. Hidup serasa hampa, ujarnya. Kata demi kata saya dengarkan dalam percakapan telpon.
Nick dan Renita sedang berpacaran memasuki tahun ke-3, namun karena impian Nick ingin menimba pengalaman di negri sebrang, keduanya harus terpisah.
Ia tidak menangis sewaktu menelpon namun nada suaranya menyiratkan kesedihan, tawar hati serta bingung. Saya mendengarkan keluhannya.
Saat itu pula ia sampaikan, ingin kembali ke tanah air. Saya tahu ia patah hati (broken heart) ditinggalkan kekasih yang telah 3 tahun selalu bersama sebelum kepergiannya ke Eropa.
Kala itu, tahun 2015, di Jakarta sedang riuh oleh para demonstran yang protes terhadap keadaan kaum pekerja. Kami sedih jika ia kembali ke Indonesia.
Selama satu jam menelpon, saya hujani dengan pesan-pesan yang membangkitkan semangat dirinya
(1) Wanita itu tidak hanya satu di dunia
(2) Mulai berharap kembali mencari kekasih hati baru
(3) Jika ia meninggalkanmu pada saat kamu terikat, biarkan saja, mungkin Tuhan berkehendak lain
(4) Pesan terakhir, selalu rajin berdoa
Rencana Tuhan selalu indah pada waktunya. Semoga ia berhasil mengalahkan egonya. Cintanya kepada kekasih yang telah menghianatinya, nyaris merusak masa depannya!
Namun saya sebagai ibunya, harus mampu membangkitkan semangatnya yang tenggelam agar dapat memulai dengan kehidupan baru.