Mohon tunggu...
Catarina Tenny Setiastri
Catarina Tenny Setiastri Mohon Tunggu... Guru - Ibu, guru, dan pejalan.

ig: catarinatenny22 Saya Ibu dan guru, yang memiliki minat melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru, yang cenderung senyap. Mengalami dan meresapi dengan berinteraksi dengan orang lokal, dengan penggiat alam atau pejalan lainnya. Destinasi bukan satu-satunya tujuan dalam perjalanannya; ia puaskan dirinya dengan pengalaman baru bersama keluarga, mencari letupan-letupan keajaiban di tiap pengalaman yang singgah. Keajaiban yang ia percaya selalu ada dariNya, yang membuat ia bertumbuh menjadi lebih baik dan lebih berguna, pun tumbuh dalam imannya yang ga seberapa.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku dan Remajaku: Menarik Diri, Memberi Ruang

12 Mei 2023   22:24 Diperbarui: 14 Mei 2023   22:21 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sedang diam, kuyu tertunduk, dan mereka-reka sepertiku? :)

Pk. 19, kuketuk pintu kamarnya. Tak ada suara. Saya ketuk lagi, tak ada suara lagi. Aku bernisiatif membukanya, inisiatif yang kusesali karena membawa bencana di akhir cerita. 

Pendakian Gn. Agung

Air pembersih kuas tumpah di atas lukisan yang sedang dipulasnya. Ia biarkan air tumpah itu menganga, menggenang di atas kertas. Tak ada gerakan yang dibuatnya selain berdiri mematung, melihatku dengan wajah sangar, ketus, dan bencinya. Suasana memang terasa dibuatnya semencekam mungkin. Tatapannya tajam. Kukenal betul tatapan itu. Tatapan yang menancapkan rasa bersalah pada diriku, ibunya selama 16 tahun ini.

Pendakian Gn. Batur

Tarikan dan hembusan nafas kubuat senormal mungkin, sekali satu waktu dengan gerakkan kedua ujung bibir ke atas. Tak ada yang tau berapa tahun kulatih cara nafas dan senyum ini. Akupun tak tau. Yang kutau, cara ini sungguh berhasil membuatku lebih damai saat menghadapi tatapan remaja di depanku.

Pendakian Gn. Bromo
Kuberikan diriku kebebasan, memberi ruang untuk pikiran logis tetap memimpin. Dan setelah hembusan nafas terakhir, baru kata-kata mulai bergulir. "Adik, keringin kertasnya, Dik." Dia ambil kertas bekas seadanya untuk mengelap meja yang berair. Aku ambil buku gambarnya, kumiringkan supaya air menyurut. "Pake lap, Dik. Biar lebih cepat kering." Dia tetap diam dan tanpa mengindahkan ucapan, tetap saja gunakan kertas untuk keringkan seadanya. Dan setelah itu, membuang kertas-kertas itu di lantai. 

Pendakian Gn. Adeng

Pesannya sudah kutangkap, 'karenaku, air pembersih kuas tumpah dan menggenangi lukisan yang akan dinilai besok pagi. Dia kesal. Kesal sekali'. Tinggal pesanku yang belum ditangkap olehnya 'jangan salahkan orang lain untuk apa yang terjadi padamu'. Tapi jika pesanku tak tersampaikan, apa guna memaksakan? Yang kubisa hanya menarik diri, memberi ruang. Memberi ruang untukku dan untuk dia, menepis konfrontasi, meminimalkan masalah yang baru, yang biasanya muncul dari luap-luap emosi. Karena aku pun sama sepertinya: tidak melakukan kesalahan.
Pendakian Gn. Catur

Aku keluar dari kamarnya. Berdamai dengan diriku, dan dia - entah bagaimana caranya - pun berdamai dengan dirinya. Sepertinya kasus belum tertutup sempurna, tak ada yang menang dan yang kalah. Dan memang bukan itu yang dicari kan? Aku hanya pegang keyakinanku. Kuyakin dan kuimani, ia pun mengasihiku sama seperti aku mengasihinya, dengan caranya sendiri, cara yang begitu rahasia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun