Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Money

Menekan Defisit Dana Jaminan Sosial (DJS)

21 November 2017   06:23 Diperbarui: 21 November 2017   06:23 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan adalah investasi yang berharga (Sumber: BPJS Kesehatan)

 "Saya tidak ingin mendengar, ada laporan rakyat tidak mampu ditolak rumah sakit, dan tidak bisa berobat karena alasan biaya. Rakyat miskin gratis berobat dan dijamin BPJS Kesehatan" (SBY, saat peluncuran BPJS Kesehatan di Istana Bogor, 31/12/2013)

 Kehidupan manusia akan mengalami pasang surut. Begitu juga dengan kesehatan yang tidak bisa ditebak. Itulah sebabnya kita perlu jaminan kesehatan untuk prlindungan diri di masa depan. Kepedulian negara terhadap kondisi kesehatan masyarakat ditunjukan dengan hadirnya BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan diresmikan pada 1 Januari 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Bogor. Sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2011, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

Lanjut, ada perbedaan antara BPJS Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN sendiri merupakan program pelayanan kesehatan terbaru yang sistemnya menggunakan sistem asuransi. Artinya, seluruh warga Indonesia nantinya wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk jaminan kesehatan di masa depan. JKN merupakan program dari BPJS Kesehatan yang kinerjanya diawasi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional). Artinya, JKN diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan menggantikan program jaminan kesehatan yang dulunya diselenggarakan oleh PT Askes dan PT Jamsostek.

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan, meliputi : 1)  Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik (Administrasi pelayanan, Pelayanan promotif dan preventif, Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis, Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif, Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, Transfusi darah sesuai kebutuhan medis, Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat pertama, Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi); dan 2) Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan Rawat jalan dan Rawat Inap.

Kesehatan adalah investasi yang berharga (Sumber: BPJS Kesehatan)
Kesehatan adalah investasi yang berharga (Sumber: BPJS Kesehatan)
Defisit Anggaran

Setelah melewati 4 tahun sejak diluncurkan, pelakasaan BPJS Kesehatan justru masih menuai masalah.  Banyak hal yang terjadi pada saat pelaksanan di lapangan seperti banyaknya klaim perawatan kesehatan yang ditolak di rumah sakit hingga defisit anggaran. Kini, yang menjadi sorotan publik adalah masalah defisit anggaran yang menerpa BPJS Kesehatan.  Perlu diketahui bahwa defisit anggaran BPJS Kesehatan sebenarnya sudah terjadi sejak program kesehatan tersebut diluncurkan empat tahun lalu.  


Perlu diketahui bahwa defisit anggaran diperkirakan membengkak hingga Rp 9 triliun pada 2017. Angka tersebut naik tiga kali lipat dari defisit anggaran pada 2014 yang hanya Rp3,3 triliun. Menurut Menteri Keuangan RI Nila F Moeloek menyatakan bahwa BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit, dan tahun ini mencapai Rp9 triliun karena semuanya kuratif dan menunjukkan 80 persen peserta sakit. Tetapi perlu diketahui masyarakat luas bahwa yang disebut defisit anggaran sebenarnya adalah defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang merupakan bagian dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sedangkan, BPJS Kesehatan sendiri sebagai pengelola dari DJS. Pendapatan BPJS Kesehatan murni berasal dari penyelenggaraan program JKN. Oleh sebab itu, masyarakat sering memahami bahwa kondisi defisit DJS, sering memakai istilah defisit anggaran BPJS.

Yang menarik bahwa, menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menegaskan bahwa defisit DJS berhubungan dengan perhitungan anggaran yang sebenarnya sudah diketahui sejak awal, karena perhitungan sudah diputuskan bersama oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Misalnya, untuk masyarakat miskin iuran harusnya Rp 36.000,- per orang setiap bulannya, tapi ditetapkan Rp 23.000,-. Lalu, untuk masyarakat mampu kelas III iurannya Rp 53.000,- setiap bulan, tapi ditetapkan Rp 25.500,- (ada selisih jauh sebesar Rp 27.500,-). Kemudian untuk kelas II, iuran yang seharusnya Rp 63.000,-, ditetapkan Rp 51.000 (ada selisih sebesar Rp 12.000,-). Sedangkan, hanya untuk kelas I yang sesuai sebesar Rp 80.000,- setiap bulannya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris (Sumber: BPJS Kesehatan)
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris (Sumber: BPJS Kesehatan)
Akibat nilai tagihan iuran dari masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai aktuaria maka anggaran dana DJS selalu mengalami defisit karena nilai klaim yang lebih tinggi dibandingkan dengan iuran premi. Salah satu hal yang mendorong di antaranya perilaku masyarakat yang baru mendaftar BPJS Kesehatan ketika sudah menderita sakit. Apalagi, tata cara pendaftaran BPJS Kesehatan pada tahun pertamanya masih longgar. Pada tahun 2014, peserta ternyata boleh langsung menggunakan fasilitas kesehatan, meski pada hari yang sama baru mendaftar BPJS Kesehatan.

Untuk mengantisipasi kasus tersebut maka perlu adanya revisi peraturan pada tanggal 1 Juni 2015, di mana BPJS Kesehatan tidak bisa langsung digunakan setelah peserta melakukan pendaftaran. Tetapi, sesuai dengan Peraturan BPJS Kesehatan No.1 Tahun 2015tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Iuran maka setidaknya dibutuhkan waktu 14 hari untuk mendapatkan akun virtual setelah melakukan pendaftaran dan  peserta harus membayar iuran pertama minimal 1 bulan.

Penyebab utama defisit anggaranDJS adalah karena adanya pemangkasan pembayaran iuran untuk pasien kelas II dan III yang ditetapkan pemerintah. Untuk pasien kelas III, iuran yang seharusnya Rp 53 ribu, dipangkas menjadi Rp 25.500. Sedangkan pasien kelas II, iuran yang seharusnya Rp 63 ribu, dipangkas menjadi Rp 51 ribu. Jadi setiap pasien kelas III datang, ada minus Rp 27.500. Sedangkan pasien kelas II ada minus Rp 12 ribu.

Penyebab defisit anggaran lainnya adalah banyaknya jumlah peserta yang menunggak iuran premi. Ada sekitar 10 juta peserta yang masih menunggak. Sebagian besar adalah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri. Tambah lagi, jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan yang belum sesuai dengan ekspektasi.Pada 2016, jumlah peserta hanya mencapai 171,93 juta orang, atau 91 persen dari target sebanyak 188 juta orang. Sayangnya,  semakin bertambahnya peserta juga diprediksi akan memperparah defisit.

Beban DJS yang dikelola oleh BPJS Kesehatan (Sumber: tirto.co.id)
Beban DJS yang dikelola oleh BPJS Kesehatan (Sumber: tirto.co.id)
Penyebab lain defisit DJS menurut Dirut BPJS menegaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pelaynan BPJS Kesehatan jelas berpotensi fraud atau melakukan kecurangan.Bukan hanya  peserta, tetapi provider hingga pegawai BPJS juga berpotensi melakukan fraud tersebut. Kita juga berharap bahwa perlu adanya perbaikan kualitas layanan kesehatan di puskesmas atau dokter praktik perorangan dan klinik pratama faskes (fasilitas kesehatan) pertama juga harus baik. Banyak kasus tuntas di faskes pertama, tetapi di kirim ke rumah sakit.

Sejak diresmikan, BPJS juga mempunyai banyak kelemahan. Masalah Historical datamasih dialami oleh BPJS Kesehatan meskipun sudah menjalankan jaminan sosial dalam waktu yang lama saat masih bernama Askes yang peseranya PNS hampir 16 juta. Tetapi, sekarang jumlah pesertanya lebih dari 150 juta orang. Padahal, kunci dalam sistem jaminan sosial adalah perlu hospital admission yang bisa dikendalikan dengan baik.

Petugas melayani warga di kantor Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan KCU Jakarta Pusat (Sumber: republika.co.id)
Petugas melayani warga di kantor Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan KCU Jakarta Pusat (Sumber: republika.co.id)
Untuk mengatasi defisit anggaran BPJS Kesehatan, maka perlu menaikan jumlah tagihan. Tahun 2017 rata rata tagihan rumah sakit Rp 6,7 triliun perbulan, sementara penerimaan berdasarkan Rp 6,4 triliun secara rata-rata. Artinya setiap bulan, minus Rp 400 miliar. Jadi, setahun hampir  5 triliun. Ada 3 Opsi untuk menekan deficit BPJS Kesehatan Menurut  Dirut BPJS Kesehatan,yaitu: 1)  kurangi manfaat pelayanan, bukan mengurangi mutu dan kualitasnya. Ada sosial cost yang tinggi untuk manfaat pelayanan bagi hampir 1300 kelompok diganosis pada tahun 2016 seperti kelompok diagnosis jantung kardiovaskuler yang beban biayanya Rp 7,4 triliun; 2) menaikkan iuran, tetapi Presiden tidak mengijinkan karena bisa memberatkan masyarakat; dan 3) perlu suntikan dana tambahan dari pemerintah, di mana pihak BPJS Kesehatan akan mengalami deficit karena selama iuran tidak sesuai dengan hitungan aktuaria, maka tidak akan pernah match antara pengeluaran dan penerimaan.

Menteri Keuangan memberikan lampu hijau jika defisit anggaran tersebut dibantu dari tambahan dana yang bersumber dari pajak rokok dan bagi hasil atas cukai tembakau. Ke depannya, BPJS Kesehatan juga perlu memiliki purchasing. Karena, untuk meningkatkan tata kelola di mana BPJS Kesehatan yang membeli layanan ke rumah sakit perlu memperkuat negosiasi pembayaran dengan faskes tanpa mengurangi mutu pelayanan.  

Namun, menaikkan iuran premi adalah cara yang paling realistis dan pernah dilakukan pemerintah. Pasalnya, besaran iuran jaminan kesehatan memang dapat ditinjau paling lama dua tahun sekali sesuai Pasal 161 Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Pasal tersebut menyatakan bahwa BPJS Kesehatan memang diperkenankan untuk melakukan kenaikan iuran sesuai dengan kondisi yang ada saat ini.

Sejak diresmikan, BPJS Kesehatan mengalami kenaikan iuran sebanyak satu kali, yakni pada 2016. Dengan kenaikan iuran premi tersebut, pemasukan DJS sepanjang 2016 melonjak 34 persen menjadi Rp74,40 triliun dari pendapatan 2015 sebesar Rp55,53 triliun. Adapun, beban tercatat Rp73,89 triliun, tumbuh 21 persen. Tahun 2016 merupakan satu-satunya tahun di mana DJS tidak defisit, atau surplus sebesar Rp508 miliar. Secara kumulatif, defisit DJS turun menjadi Rp8,56 triliun di akhir 2016 dari sebelumnya Rp9,06 triliun di akhir 2015.

Langkah lain untuk menekan angka defisit anggaran adalah dengan cara meningkatkan kepesertaan Pekerja Penerima Upah (PPU), khususnya untuk non pemerintah. Perlu diketahui bahwa jumlah peserta PPU non pemerintah baru tercatat 10,9 juta orang. Capaian BPJS Kesehatan itu jauh dari jumlah PPU yang tercatat di Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 47 juta orang. Pendapatan iuran peserta dari 10,9 juta PPU mencapai Rp10,4 triliun pada semester I-2017, atau menyumbang 29 persen dari total iuran yang diraup senilai Rp35,9 triliun. Bisa dibayangkan jika iuran PPU bisa terkumpul semua sesuai jumlah dalam catatan statistik BPS. Maka, deficit anggaran DJS bisa diatasi dengan mudah bahkan surplus anggaran.

Referensi:

Dirut BPJS Kesehatan Blak-blakan Soal Tekor Rp 9 Triliun

Alami Defisit, Ini Penjelasan BPJS Kesehatan

Mengakhiri Defisit Dana BPJS Kesehatan yang Menahun

BPJS Kesehatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun