Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Jokowi dan Prabowo, Pilihan Politik ataukah Pilihan Hati?

22 Agustus 2018   21:03 Diperbarui: 23 Agustus 2018   15:19 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase calon presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 (foto: tribunnews.com)

Sebagai rakyat biasa yang gandrung terhadap isu politik tanah air, terkadang kita sering dibuat bingung oleh pemberitaan media tentang sosok atau kandidat tertentu. Baik dari segi kontennya maupun profil yang ditampilkan. 

Media juga terkadang suka "memutarbalikkan fakta" jika itu kebetulan kandidat yang mereka dukung. Sering pula secara diam-diam memberikan opini yang tidak berimbang. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi publik.

Rakyat tentu belum dapat melupakan bagaimana awal-awal demokrasi di alam reformasi terjadi di Indonesia. Bagaikan demokrasi yang kebablasan, lepas tanpa kendali, yang seolah-olah boleh melakukan apa saja jika itu atas nama politik.

Lihat saja bagaimana perilaku politik yang dipertontonkan oleh para elit politisi, terutama "pemilik" partai politik. Bahkan sangat jelas dapat dilihat pada perilaku komunikasi yang mereka tampakkan ke publik.

Pola komunikasi yang cenderung kasar tanpa etika, dusta dan menjurus kepada saling fitnah antar sesama politisi yang berbeda pilihan dan pandangan. Seakan itulah yang disebut dengan politik. Boleh menyerang setiap yang berseberangan dengan cara apa saja.

Ditambah lagi situasi tersebut didukung dan dimanfaatkan oleh media yang mental penjilat dengan mengolah dan "menggoreng" menjadi berita versi mereka untuk meraup keuntungan politik dan bisnis. Bisa jadi itu adalah pesanan sang kandidat dengan dijanjikan benefit timbal balik atau memang mereka saling mendukung. 

Melalui tangan media, publik dibuat pikun, perasaan publik diaduk-aduk, logika berpikir sehat dicoba gantikan dengan logika berpikir idiot. Mesin media bekerja demikian efektif untuk "membodohi" rakyat dengan cara 'ilmiah', mengabaikan nalar bijak dan menghancurkan penghormatan terhadap informasi itu sendiri.

Yang sebenarnya, bukankah media itu untuk mencerdaskan? Dalam posisinya yang tidak berafiliasi sedikitpun dengan kepentingan politik kelompok tertentu? Sehingga keberadaan dan fungsi media dapat ditempatkan pada tempat yang ideal dalam edukasi politik masyarakat.

Namun faktanya tidaklah demikian, sejak era reformasi, media sering  menjadi alat politik para elit. Apalagi pemilik media itu sekaligus juga 'pemilik' partai politik. Maka daya pemanfaatan media tersebut demikian masif dalam upaya pembentukan opini dan pencitraan diri yang kadang sangat tampak sebagai bagian dari strategi pembodohan publik.

Berlebihannya tindakan media yang mungkin bisa dikatakan sangat melunjak pada pemberitaan sang 'bintang' atau 'idola' yang mereka ciptakan juga turut dipengaruhi oleh karena ada pembiaran dari pemerintah.

Terutama stakeholder yang secara langsung diberikan wewenang oleh negara untuk memantau dan mengawasi media yang diduga melakukan pelanggaran terhadap undang-undang penyiaran publik.

Sehingga tidak salah jika kemudian masyarakat pun membangun asumsi dan dugaan sendiri terhadap pembiaran tersebut. Bahkan praduga masyarakat menjadi lebih tajam lagi manakala ditemukan korelasi kuat antara pemilik media dan sekaligus ia juga pemilik partai politik bersekongkol demi kepentingan kelompoknya semata. 

Pilpres Reborn Jokowi Vs Prabowo Subianto

Pertarungan kedua calon presiden ini kali pertama terjadi pada masa pemilihan umum presiden 2014 lalu. Sebagai politisi yang dibentuk sejak orde baru dan dilahirkan pada era reformasi. Keduanya memiliki perilaku yang secara umum juga merepresentasikan perilaku rakyat Indonesia pada umumnya.

Keduanya adalah putra bangsa yang tumbuh berkembang di bumi nusantara. Mereka memiliki semangat yang sama untuk memajukan negara ini. Yang membedakan hanyalah pada cara dan strategi yang dipilih.

Namun mengapa yang terlihat, mereka yang sama-sama memiliki jiwa nasionalisme tinggi terhadap negara ini, juga memiliki jiwa patriotisme, lalu para pendukung kedua kubu ini saling menghina satu sama lainnya?

Siapakah yang menggiring kelompok pendukung kearah destruktif semacam itu? Apakah kontribusi media ataukah pengguna media itu sendiri yang keliru memaknai setiap informasi yang disajikan media?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut untuk kita jawab bersama. Itulah akar persoalan yang membuat setiap menghadapi masa pilpres, bangsa ini selalu saling cakar-cakaran antar sesama para pendukung kandidat.

Cukuplah sudah tangan "kotor" para politisi busuk memainkan kuku tajamnya untuk mengadu emosi antar kubu pendukung. Rakyat jangan mau lagi dibodohi dengan cara-cara kotor dan keji seperti itu, dipaksa menerima pesan sepihak, dan dipertontonkan berbagai kebohongan yang sudah dimengerti.

Kini saatnya rakyat cerdas menilai para kandidat yang hanya dua pasang calon tersebut. Dengan jumlah pasangan calon yang sedikit tentu lebih mudah bagi kita untuk melakukan penilaian. Lihatlah dengan lebih jelas, buka cakrawala berpikir kita sebagai landasan logika berpikir yang realistis dan ideologis. 

Bukan berarti tidak mengindahkan berbagai pemberitaan media, namun jadikan itu sebagai bahan referensi kedua, ketiga atau ke selanjutnya dalam anatomi sistim penilaian yang kita bangun terhadap kedua pasang calon tersebut diatas.

Hal yang paling utama adalah tempatkan akal sehat dan daya nalar yang logis yang kita miliki sebagai pondasi penilaian.

Jokowi dan Prabowo Subianto sesungguhnya mereka berteman, saling kenal satu sama lainnya, dan diantara partai pengusung dan pendukung pun juga bukan orang asing. Maka dukunglah kedua mereka dengan cara yang bermartabat, mari kedepankan nilai-nilai kebangsaan agar mereka bisa terpilih dengan cara terhormat. Bukan karena "gorengan" media atau pencitraan busuk partai koalisi.

Pada pilpres 2019 Insha Allah kedua rival ini kembali bertemu dalam ajang kontes pemilihan penguasa seperti yang pernah mereka lakukan pada tahun 2014 lalu. Namun terjadi sedikit perubahan pada sosok pendamping mereka. Ma'aruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno. Dua nama baru yang berhasil masuk dalam bursa pencalonan Capres-Cawapres Indonesia 2019.

Meskipun produk baru dalam pasar pilpres namun sebenarnya mereka bukanlah orang yang tidak dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Ketua MUI dijabat oleh Ma'aruf Amin, lembaga paguyuban keulamaan Indonesia yang kini mulai merambah ke dunia politik praktis. 

Dan pimpinan tertinggi MUI tersebut diharapkan menjadi mesin penghasil suara ummat Islam bagi Jokowi, sang petahana yang masih bernafsu berkuasa untuk melanjutkan prestasi yang sudah ditorehkannya selama empat tahun terakhir. 

Dengan komunikasi marketing yang dibangun melalui pencitraan pemimpin yang bersih, bekerja dan merakyat itu, mencoba meyakinkan para pendukungnya untuk mau memberikan suara mereka pada pilpres kali ini.

Begitu juga dengan pasangan Prabowo Subianto, dengan memilih Sandiaga Uno, mantan wakil gubernur DKI Jakarta yang berhasrat naik kelas, dari level provinsi ke tingkat pimpinan nasional. 

Tentu saja publik juga sudah sangat mengenal sosok tersebut. Dengan program Oke-Oce yang ditawarkan kepada calon pemilih Anies-Sandi saat Pilkada DKI beberapa waktu lalu ternyata disambut positif oleh warga Jakarta, yang akhirnya pasangan ini berhasil mengalahkan petana saat itu yaitu Ahok-Djarot.

Namun apapun aktivitas politik dan pengabdian yang pernah mereka lakukan dan berikan kepada bangsa ini hendaknya itu bisa menjadi pertimbangan kritis bagi rakyat Indonesia agar cerdas dalam membuat keputusan pemilihan saat hari pencoblosan nantinya di bulan April 2019.

Rakyat sejak dini harus dicerdaskan dengan informasi yang benar, valid, jujur dan berkualitas. Membantu mereka mengembangkan pola pikir kritis, sehingga tidak terjebak pada dogma sektarian, fanatisme ideologis, dan sikap nepotisme kepartaian yang melupakan tujuan dasar berbangsa dan bernegara.

Jangan kita ulangi kembali masa suram yang pernah menyelimuti bangsa ini karena akibat perilaku penguasa culas, menyakiti rakyat, mengkhianati ummat, dan berdusta demi kekuasaan. Segenap elemen masyarakat harus berupaya secara sungguh-sungguh untuk mengawal proses pilpres ini dengan cermat. 

Kritisi kedua kubu jika memang pantas untuk dikiritik. Tonjolkan diskusi kita atau pembicaraan pada aspek materi, objektif dan sesuai fakta (realitas).

Kalau memang itu baik, maka katakan dan akui bahwa itu baik, pun sebaliknya jika itu salah, dusta, pembohongan publik, maka sama-sama kita bongkar, perbaiki dan luruskan pemimpin yang salah. Tentu tetap dengan mengedepankan etika politik dan komunikasi yang bijak, luhur dan mencerdaskan.

Pilihan Politik ataukah pilihan Hati

Keduanya merupakan dua hal yang tidak sama, namun jika menyatu menjadi satu pilihan yang bulat. Maka efeknya luar biasa, menjadi pemilih yang loyal dan pilihan yang sangat mantap.

Saya kira itulah yang saat ini sedang diperjuangkan habis-habisan oleh kedua kubu kandidat. Bagaimana caranya mendapatkan pemilih yang setia dan loyal.

Sekedar sharing dengan pembaca, menurut saya jika Jokowi ataupun Prabowo Subianto sebagai pilihan politik, maka ia hanya ditempatkan pada kepentingan sesaat belaka. Politik hampir selalu berada pada kepentingan sesaat. 

Lebih tepatnya hanya suara kitalah yang diharapkan oleh kandidat. Begitu juga sebaliknya sekira pemilih menempatkan para kandidat sebagai pilihan politik, maka pertimbangannya adalah apakah mereka memiliki kapabilitas dan kapasitas sebagai pemimpin dalam jangka 5 tahun kedepan?

Sedangkan jika pilihan hati, nah inilah yang kadang-kadang para pemilih kehilangan akal sehat. Hati identik dengan perasaan, emosional dan hal-hal yang bersifat abstrak lainnya. Namun memilih karena hati biasanya melahirkan sifat fanatik terhadap kandidat. Memang ada kelebihan dan kekurangan.

Kekurangan sebagai pilihan hati biasanya mereka cendrung membela secara membabi buta, tak peduli apakah yang dibela itu benar atau salah. Bagi mereka hal itu tidak penting. Yang utama adalah kandidat yang mereka usung selalu terlihat sempurna, perfect tanpa cacat.

Padahal kondisi sesungguhnya tidaklah demikian, yang namanya manusia sekalipun ia seorang raja, pasti ada kesalahan dan kekurangan yang ia lakukan. Maka wajarlah jika ada pihak lain yang memberikan koreksi dan masukan. Dan itu hal biasa, tidak perlu ditanggapi dengan amarah, mencela, menghina. Toh yang disarankan adalah hal yang baik dan demi kebaikan.

Begitulah saudara ku, sharing sayai. Semoga ada manfaatnya, silakan buat kesimpulan sendiri.

Salam.[]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun