PETIR DI KETINGGIAN
Laporan Perjalanan
Pendakian Gunung Merbabu 3142 m dpl
Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia
Oleh 24.615
“Waktu itu hujan rintik di Gunung Merbabu, hari menjelang gelap. Aku sama Sipit mau motong rute, ndaki bukit yang nggak ada jalan setapaknya. Kami yakin di atas ada kampung soalnya ada suara gamelan. Pas udah sampai puncak bukit, hari udah malam, kami nge-camp di tanah datar yang banyak batu berserakan nggak karu-karuan itu. Pagi hari kami bangun, eh ternyata semalam kami tidur di kuburan ! Batu-batu gede itu halusinasi tipuan dedemit yang ternyata adalah maesan, lengkap sama suara gamelannya !” Tutur Mas Rowi, anggota Kicita angkatan XV yang bercerita pada mereka suatu saat. Mas Sipit yang dia sebut-sebut tadi menambahkan cerita, “Sampe di suatu tanjakan terjal kakiku kesandung batu, J@#&*K ! Sesaat setelah aku mengumpat, petir langsung nyamber tanah satu meter di depanku !”
4 tahun setelah cerita pendakian Gunung Merbabu itu dituturkan, 2 anggota Kicita angkatan XXIV berkesempatan mendapat kehormatan mendaki Gunung Merbabu dalam 2 tim yang berbeda.
Jumat, 8 Oktober 2010. Selepas Sholat Jumat, Jogja dirundung hujan deras. Cipeng adalah pemilik sepasang telinga yang pernah mendengar cerita tadi. Selain tercatat sebagai anggota Kicita angkatan XXIV, dia adalah anggota Komunitas Alam Bebas Fakultas Bahasa, Sastra dan Seni, sebuah universitas negeri di Jogjakarta bernama KEJAR ‘Kelana Jagad Raya’. Dan kali ini, bersama Kejar, panji-panji Kicita yang tersemat di dada dititipkan untuk dikibarkan di Gunung Merbabu.
Base camp pendakian Gunung Merbabu terletak di sisi utara jalan tembus dari Boyolali ke Magelang sementara base camp Gunung Merapi berada di sisi selatan jalan. Tim eksepdisi yang berjumlah 6 orang sampai tepat saat magrib, saat hujan mulai reda. Dari pinggir jalan raya, mereka menumpang mobil bak sayur yang menuju ke perkebunan atas, lokasi base camp pendakian Gunung Merbabu yang berjarak sekitar 4 km dari jalan raya. Rumah Hang Bari adalah rumah terakhir paling atas yang terletak di kaki Gunung Merbabu, sekaligus digunakan sebagai base camp pendakian. Di base camp, tim bertemu seorang pendaki solo asal Sragen, Agus Jambang namanya. Dia sedang menunggu tim kedua yang baru saja berangkat dari Jogja ke base camp petang itu, tim kedua adalah tim dari UII yang dipimpin oleh Lufti, anggota Kicita XXIV.
Sebelum sampai di base camp pendakian, mereka dihajar oleh hujan angin dan macet yang menguras energi di pertigaan muntilan Magelang. Sebuah pilihan yang salah mendaki pada musim penghujan. Kira-kira jam 20.00 WIB, setelah melakukan aklimatisasi, tim pertama bersiap melakukan pendakian. Tim ini terdiri dari Sidiq, Aan, Imam, Cipeng, Jaka Kribo dan Dhani.
Hujan rintik masih turun, mereka memakai rain coat sebagai savety procedure. Kabut yang masih menyelimuti kaki Gunung Merbabu membuat mereka memilih senter penerang dengan lampu berwarna kuning. Sidiq berjalan terlebih dahulu membuka jalan bagi anggota tim yang lain, sesekali dia berhenti, memberi tanda agar anggota tim yang lain mengikuti jalurnya. Pada awalnya, rute cukup ringan dengan vegetasi hutan heterogen, jalan berkelok mengelilingi bukit-bukit, beberapa kali Sidiq yang berjalan sekitar seratus meter di depan mengomando anggota tim yang lain melalui HT untuk berhati-hati karena trek yang licin terkena air hujan dan gelap saat malam. Bukit atau tebing di sisi kiri rute dan jurang menganga di sisi kanan siap melahap mereka yang tak hati-hati hingga jatuh ke dalamnya. Vegetasi hutan heterogen semakin lama semakin hilang, pepohonan tinggi semakin jarang ditemui memasuki kawasan perbatasan hutan dan perbukitan, kira-kira jam 23.00, mereka mulai merasakan fisik yang drop, rute semakin terjal dan trek semakin sulit. Beberapa kali Cipeng dan keempat anggota tim di belakang berteriak dan mencoba menghubungi Sidiq yang berjalan jauh di depan, tanda-tanda yang ditinggalkannya tidak tampak dan trek jalan setapak tidak terlihat, hanya bebatuan tajam yang terjal. Jam 23.30 Sidiq menunggu di tumpukan bebatuan di atas bukit di ketinggian 2385 m dpl, di tempat itu tidak ada pohon besar yang tumbuh. Sang leader berdiri di atas bebatuan bukit sambil memandu perjalanan lewat HT, untuk memperjelas posisinya, dia menyalakan senter besar, menyorotkannya ke langit sebagai tanda. Tak lama kemudian anggota tim yang lain sampai, mereka beristirahat sebentar di tempat itu. Di ketinggian ini, angin semakin kencang bertiup, udara semakin dingin, mereka memakai koyo di hidung untuk menghangatkan saluran pernafasan sehingga udara akan mudah mengalir. Setelah melewati bebatuan bukit yang tajam ini mereka disuguhi trek bebatuan yang menanjak terjal dengan kemiringan sampai 60 derajat, batu-batu yang menjelma menjadi tangga alami tinggi sampai pinggang orang dewasa benar-benar menguras tenaga. Sidiq masih memandu pendakian di depan, dari HT yang dibawa oleh Imam, Sidiq memperingatkan mereka, “Ati-ati bro, trek abis ini sulit banget, melelahkan. Jangan mendaki terlalu cepat, pelan aja, yang penting konsisten. Roger.” Benar saja, bukit menghadang mereka yang, baru 100 meter mendaki bukit, kaki Aan terpeleset karena menginjak batu licin, Imam yang berada di belakangnya ikut tertimpa, dan mereka pun jatuh berguling bersama-sama. Imam langsung berdiri, tetapi tidak dengan Aan, dia mengerang kesakitan memegangi kaki kirinya. Dhani segera memberikan pertolongan pertama dan Cipeng mencarikan tongkat kayu sebagai kaki ketiga. Pendakian dilanjutkan lagi, masih melewati tanjakan terjal yang tajam, licin dan gelap. Kali ini Sidiq berjalan sedikit lebih dekat dengan mereka. Jam 02.00 WIB tim sampai di ketinggian 2600 m dpl, sabana I. Di tempat ini banyak ditemukan tanah datar untuk mendirikan camp, saat tim sampai di tempat ini, Sidiq sudah menyiapkan air panas untuk membuat kopi. Setelah sabana I, pendakian akan melewati sebuah bukit lagi untuk sampai di sabana II. Dari sabana II, pendakian melewati sebuah bukit lagi dengan trek tanah dan rerumputan di sisi kanan dan kirinya untuk sampai di padang edlewess. Rencana awalnya mereka akan mendirikan camp di padang edlewess dan akan melakukan summit attack dari tempat ini, tetapi melihat keadaan Aan dan kondisi anggota tim yang sudah diserang kantuk dan lelah, serta menimbang waktu, akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan camp di sabana I. Tidak ada api unggun karena kayu yang basah bekas hujan, mereka langsung terlelap dalam pelukan gelap.
Sabtu, 9 Oktober 2010. Jam 7 pagi, tidak disangka tubuh mereka lemas karena kelelahan pendakian semalam. Dari tempat ini mereka melakukan summit attack. Aan yang kondisinya paling lemah berjalan tepat di belakang Sidiq. Mereka langsung disuguhi rute menanjak terjal membelah punggungan bukit dengan trek tanah basah, udara segar sedikit meringankan pendakian. Sabana II, tempat ini sangat indah. Padang rumput ilalang sampai setinggi pinggang yang luas sejauh mata memandang, saat kabut datang, pesonanya semakin menawan. Setelah sampai di sabana II, rute masih sama untuk mencapai padang edllewess. Padang edlewess, tempat ini sebenarnya lebih pantas disebut sebagai kebun edlewess. Pohon-pohon edlewess setinggi 3 meter tumbuh bergerombol di cerukan bukit dikelilingi rerumputan liar. Sesekali terlihat burung jalak gunung hinggap, terbang kesana kemari di antara pepohonan di ‘kebun edlewess’. Setelah ini pendakian menuju puncak yang sesungguhnya baru dimulai. Tanjakan terakhir yang super berat. Angin semakin kencang berhembus, udara semakin dingin, trek tanah basah menjadi licin. Beberapa kali mereka berhenti untuk beristirahat dan menunggu agar kabut tersibak karena kabut benar-benar menghalangi rute. Saat kabut turun, rute terlihat dan sinar matahari sedikit menghangatkan badan, mereka mendaki lagi. Kabut datang lagi, mengalir lembut di celah-celah bukit, naik perlahan menutupi seluruh puncak, kabut tebal serupa titik-titik air menghalangi pandangan, mereka berhenti lagi. Beberapa jam terus seperti itu, mereka berkejar-kejaran dengan kabut. Untuk mendaki trek terjal dan licin ini mereka menggunakan tehnik klasik, merangkak ! Memaksimalkan fungsi kedua tangan untuk meraih rerumputan. Beberapa kali mereka terpeleset karena rute yang licin, untungnya mereka saling mengaitkan tali di kaki saat mendaki sehingga saat salah satu anggota tim terpeleset, tidak langsung jatuh karena kakinya terikat tali yang terhubung antara satu dengan yang lain.
Akhirnya, sekitar jam 12.00 WIB, mereka sampai di puncak kentheng sanga 3142 m dpl, puncak tertinggi Gunung Merbabu. Kondisinya seperti saat berada di puncak Gunung Arjuna, kabut diaman-mana, hanya bedanya di Gunung Merbabu terkadang kabut tersibak oleh angin. Dari puncak kentheng sanga tim melanjutkan pendakian menuju puncak dieng yang terletak di bukit di sebelahnya melewati dead zone, di puncak ini terdapat 7 batu berlubang. Konon katanya ada 9 batu berlubang, tetapi hanya orang yang berkemampuan khusus yang bisa melihat kedua batu yang tak kasat mata itu. Percaya atau tidak percaya, semua anggota tim hanya bisa melihat 7 batu. Setelah beristirahat dan mengambil gambar di kedua puncak mereka langsung turun. Sesaat setelah mereka sampai di camp sabana I, hujan turun lagi, sangat deras.
Jam 15.00 WIB, hujan mulai reda, mereka bersiap packing dan turun ke base camp. Camp di sabana I terletak di ketinggian 2600 m dpl, ketika mereka berada di luar tenda sambil mengeluarkan barang, tiba-tiba petir menyambar. Terdengar sangat keras ! Petir yang menakutkan itu membuat mereka kaget, reflek dan langsung meloncat ke dalam tenda lagi. Seluruh badan gemetar, camp I sabana I mencekam seketika. Tidak ada yang tahu apa yang baru saja disambar oleh petir tadi, tapi menurut pengelihatan Dhani dan Imam, kilatan cahaya itu menyambar sesuatu yang berada dalam radius 100 meter dari tenda. Barulah saat keadaan benar-benar aman mereka melakukan packing dan turun. Kira-kira setengah jam perjalanan turun, mereka bertemu tim kedua yang baru saja naik. Tim ekspedisi I sampai di base camp pendakian Gunung Merbabu, di rumah Hang Bari jam 23.00 WIB. Mereka memutuskan untuk menginap semalam di base camp.
Pagi hari, matahari belum bangun dari peraduannya. Cipeng bangun paling awal, dia sengaja memanaskan air untuk menyeduh teh pagi itu. Kaki Gunung Merbabu sungguh indah, perkebunan penduduk yang menghijau siap panen, aroma pegunungan yang khas, sesekali kabut tipis turun perlahan lalu hilang setelah jembatan cahaya turun dari langit menghangatkan seluruh lembah. Di bawahnya, terlihat perkampungan tradisional penduduk yang mulai ramai, orang-orang pergi berkebun membawa pacul dan sepatu boatnya, dapur-dapur mengepulkan asap tanda siklus roda kehidupan pagi itu mulai berputar. Setiap pendaki pasti pernah merasakan kebanggaan setelah mendaki, kepuasan sejati, aroma kemenangan adalah torehan prestasi tanpa medali. Rasanya seperti terlahir kembali.
Menyusuri pagi di altar rumahmu,
dengan bintang biru melekat di keningku,
aku turuni jenjang anak tangga menuju hulu matamu.
Dan hujan tiba-tiba beralih rupa
menjadi gerumbulan malaikat dari beranda
dengan tubuh tembus cahaya
serupa sisa-sisa air mata
dalam kitab-kitab lama.
Adalah pikiranku
yang selalu mengantar poci tua
pada uraian rambutmu
agar matahari pagi lebih remang bersinar
meneteskan cahaya.
Sebelum secangkir teh yang kau tuang mendingin,
kumasuki gelisah waktu
bersama embun di penjuru do’amu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI