Perlu diketahui, seperti juga NBA, MLS juga membagi tim berdasarkan wilayah. 6 tim terbaik masing-masing wilayah akan masuk babak playoff. Peringkat 3-6 akan saling beradu di babak knockout dan akan bertemu dua peringkat terbaik masing-masing wilayah di semifinal wilayah. Tim yang berhasil lolos di semifinal akan saling beradu di final wilayah. Pemenang final masing-masing wilayah kemudian akan beradu di Final.
Mungkin bagi penikmat sepakbola eropa format ini dianggap kurang pas karena tim berbeda wilayah hanya bertemu sekali, selain itu format MLS nggak mengenal degradasi jadinya kurang pegimana gitu.
Hanya saja, format ini tidak selalu "seaneh" bayangan kita. Klo liga hanya dilihat dari kacamata babak reguler dan klasemen diukur dari rekor menang kalah secara keseluruhan akan didapatkan fakta nyeleneh.
Perpaduan aturan salary cap dan liga tanpa degradasi memungkinkan pergeseran peringkat klasemen yang cukup sengit. Setidaknya, itu terjadi juga di Liga A Australia. Tidak ada tim yang benar-benar mendominasi Liga sejak liga berdiri.
Sebagai gambaran sejak Premier League berdiri, kita tahu Manchester United jadi tim paling dominan. Dari musim 1992-1993, hanya sekali Manchester United ada di luar lima besar sampai musim 2015-2016, yaitu musim lalu. Berdasarkan fakta tersebut, rata-rata MU finish di peringkat ke-2, setidaknya sampai musim kemarin. Arsenal membututi di peringkat kedua, dengan rata-rata finish di peringkat ke-3,54.Â
Rata-rata peringkat Arsenal bisa lebih baik klo mereka nggak nyangsang di peringkat 10 di musim perdana EPL. Liga di Eropa yang punya tim dengan koefisien lebih baik dari MU adalah Liga Jerman. Karena konsisten di peringkat dua besar, koefisien Bayern Munich bisa nyampe 1,75. Barcelona di La Liga aja koefisiennya cuma 2. Koefisien tadi saya hitung dari tahun yang sama, dimulai sejak Premier League digelar. Serie A? Koefisien Juventus baru 3,11. Nggak superior-nya  Juventus, selain lantaran pernah berada di peringkat 20 (siap-siap dijitak fans Juve), mereka pernah empat kali berada di peringkat 7 Serie A.
Format liga yang bisa kita liat juga bukan berarti nggak bisa kompetitif lho. Klo ada yang masih ingat serie A musim 2003-2004, di mana peringkat 8 sampai 19 musim itu, cuma beda 4 poin. Lazio, Lecce, Cagliari, Regina (peringkat 10-13) malah punya nilai sama 44 poin. Emang sih waktu itu Trezeguet, Del Piero, Nedved terlalu perkasa di lini depan dan Thuram Cannavaro rapet pisan maennya. Nggak heran mereka juara serie A dengan poin 86 waktu itu. Â
Saya pribadi pengen Salary Cap Sepak bola mengadopsi Salary Cap NBA, di mana besarnya salary cap NBA dihitung dari sekitar 42% keuntungan liga secara keseluruhan (setelah sebelumnya dikurangi proyeksi keuntungan yang nilainya sudah ditentukan sebelumnya). Keseluruhan artinya keuntungan tiap tim, dari mulai pendapatan parkir, maskot, tiket, hingga pendapatan hak siar dikumpulin jadi satu, katakanlah 35-40% dari masing-masing komponen itu. Setelah semuanya terkumpul, keseluruhan keuntungan tersebut akan dibagi rata ke semua klub tanpa terkecuali dan akan digunakan sebagai salary cap Liga untuk MUSIM KEDUA setelah musim ini. Besar keuntungan yang didapat tiap tim secara umum nggak jauh beda dari musim ke musim. Yang makin besar justru kontrak siaran TV, faktor inilah yang bikin nilai salary cap dari tahun ke tahun bisa naik.