Mohon tunggu...
camilledoppler
camilledoppler Mohon Tunggu... pelajar sekolah

tidak ada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebijakan Kelautan dan Kedaulatan NKRI

6 Februari 2025   21:10 Diperbarui: 6 Februari 2025   21:09 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki tantangan besar dalam mengelola wilayah lautnya guna menjaga kedaulatan dan keberlanjutan sumber daya pesisir. Tata kelola kelautan yang efektif menjadi kunci dalam memastikan pemanfaatan ruang laut sesuai dengan kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat pesisir (Lasabuda, 2013). Namun, munculnya fenomena pagar laut di berbagai daerah, seperti di Tangerang dan Bekasi, menimbulkan persoalan yang kompleks dalam kebijakan kelautan Indonesia. Keberadaan pagar laut yang membatasi akses nelayan terhadap wilayah perairan telah memicu perdebatan mengenai hak publik, legalitas pembangunan, serta implikasinya terhadap ekosistem pesisir. Selain itu, aspek hukum dan tata ruang pesisir yang tumpang tindih semakin memperumit penyelesaian masalah ini, sehingga diperlukan kajian lebih lanjut mengenai dampaknya terhadap kedaulatan NKRI (KIARA, 2025).Berdasarkan permasalahan tersebut, artikel ini berusaha menjawab pertanyaan utama: bagaimana kebijakan kelautan Indonesia merespons fenomena pagar laut, serta sejauh mana dampaknya terhadap kedaulatan dan tata ruang pesisir? Dengan menganalisis regulasi terkait, studi kasus pagar laut di Tangerang dan Bekasi, serta implikasinya bagi keamanan maritim, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan kebijakan yang ada dan menawarkan rekomendasi solusi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi pembuat kebijakan dalam mengelola ruang laut secara adil dan berkelanjutan, serta memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terjaga dalam menghadapi tantangan serupa di masa depan.

Kedaulatan maritim merupakan konsep fundamental dalam tata kelola kelautan bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam mengatur, melindungi, dan memanfaatkan sumber daya kelautan secara berdaulat. Konsep kedaulatan maritim dalam konteks negara kepulauan mengacu pada hak eksklusif suatu negara dalam mengelola wilayah perairan yang masuk dalam yurisdiksinya, baik dalam aspek ekonomi, lingkungan, maupun keamanan (Listiyono, Prakoso & Sianturi, 2022). Prinsip ini diatur di Indonesia dalam berbagai regulasi nasional dan internasional, seperti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang mengakui konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State). Dengan demikian, kedaulatan maritim Indonesia bukan hanya berkaitan dengan penguasaan terhadap wilayah perairan, tetapi juga dengan bagaimana kebijakan yang diterapkan mampu menjaga keutuhan dan keberlanjutan tata ruang pesisir.
Tata ruang pesisir dalam kebijakan kelautan Indonesia memiliki peran penting dalam mengatur pemanfaatan ruang laut secara optimal dan berkelanjutan. Pesisir merupakan zona transisi antara daratan dan lautan yang memiliki fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial yang strategis. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap aktivitas yang dilakukan di wilayah pesisir, termasuk pembangunan infrastruktur seperti pagar laut, tidak bertentangan dengan prinsip kelestarian lingkungan dan kepentingan masyarakat setempat. Kebijakan tata ruang pesisir juga bertujuan untuk mengurangi konflik kepentingan antara berbagai pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat nelayan yang bergantung pada sumber daya laut (Sari, 2019). Namun, dalam praktiknya, implementasi kebijakan tata ruang pesisir masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal pengawasan dan penegakan hukum.
Berbagai penelitian terdahulu telah mengkaji konflik kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir, yang sering kali muncul akibat tumpang tindih regulasi dan lemahnya koordinasi antarinstansi terkait. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kebijakan kelautan di Indonesia masih cenderung bersifat sektoral dan belum sepenuhnya terintegrasi dalam satu sistem tata kelola yang holistik. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Anugerah (2021) menunjukkan bahwa terdapat celah dalam regulasi yang memungkinkan adanya klaim kepemilikan terhadap wilayah pesisir yang seharusnya bersifat publik. Hal ini sejalan dengan kasus pagar laut yang terjadi di Tangerang dan Bekasi, di mana infrastruktur tersebut dibangun tanpa adanya transparansi dan justifikasi yang jelas dari pihak berwenang.
Dalam kebijakan kelautan Indonesia, regulasi terkait tata ruang laut dan pesisir menjadi landasan utama dalam menentukan penggunaan dan pengelolaan ruang laut. Salah satu regulasi utama yang mengatur tata ruang pesisir adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (Arifin & Satria, 2020). Regulasi ini menekankan pentingnya perencanaan ruang pesisir yang memperhitungkan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya laut dan konservasi lingkungan juga mengatur bahwa wilayah pesisir seharusnya tetap dapat diakses oleh publik, yang bertentangan dengan keberadaan pagar laut yang membatasi akses nelayan.
Kebijakan pemerintah dalam menata dan mengelola ruang laut secara berkelanjutan menunjukkan bahwa masih terdapat banyak hambatan dalam implementasinya. Salah satu masalah utama adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang pesisir, seperti yang terjadi dalam kasus pagar laut. Pemerintah pusat dan daerah sering kali mengalami kesulitan dalam mengawasi pelaksanaan regulasi di lapangan, terutama akibat kurangnya koordinasi antarinstansi dan minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang pesisir. Selain itu, kebijakan tata ruang pesisir yang ada belum sepenuhnya mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya pada akses terhadap wilayah perairan.
Salah satu aspek yang menjadi perdebatan dalam kasus pagar laut adalah keberadaan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah pesisir. Secara hukum, HGB merupakan hak yang diberikan kepada individu atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, baik itu tanah negara maupun tanah hak milik. Namun, penerapan HGB di wilayah pesisir masih menimbulkan kontroversi, mengingat wilayah tersebut seharusnya berada dalam pengelolaan negara dan tidak dapat dimiliki secara privat. Dalam kasus pagar laut di Tangerang dan Bekasi, ditemukan bahwa terdapat 263 sertifikat HGB yang diterbitkan untuk perusahaan-perusahaan tertentu, yang menimbulkan pertanyaan tentang legalitas dan transparansi proses pemberian hak tersebut.
Implikasi dari kebijakan tata ruang pesisir yang tidak transparan dan tumpang tindih ini dapat berdampak luas terhadap kedaulatan NKRI. Jika akses terhadap wilayah pesisir terus diprivatisasi tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah, maka dikhawatirkan akan muncul "negara dalam negara" di mana pihak-pihak tertentu dapat menguasai sumber daya kelautan secara eksklusif. Hal ini tidak hanya berdampak pada kehidupan masyarakat nelayan yang kehilangan akses terhadap laut, tetapi juga berpotensi melemahkan posisi Indonesia dalam menjaga kedaulatan maritimnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan tata ruang pesisir dan memastikan bahwa setiap regulasi yang diterapkan sesuai dengan prinsip kedaulatan dan keberlanjutan.

Pembangunan pagar laut di pesisir Tangerang dan Bekasi menjadi salah satu isu kontroversial dalam tata kelola pesisir Indonesia. Kronologi pembangunannya menunjukkan bahwa proyek ini mulai tampak nyata sekitar tahun 2022 dan semakin berkembang hingga 2024. Berdasarkan citra satelit Google Earth yang dikutip dari akun Twitter/X elisa_jkt, garis pantai tahun 2019 masih terlihat alami tanpa ada struktur buatan yang membatasi akses ke laut. Namun, pada Juni 2024, garis merah yang ditandai dalam citra menunjukkan perubahan signifikan dengan keberadaan pagar laut yang membentang sepanjang pesisir. Garis biru yang ditambahkan mengindikasikan lokasi pagar bambu yang muncul dalam citra terbaru, sementara pada Agustus 2022, area tersebut masih tampak kosong tanpa struktur pembatas. Fakta ini mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, telah terjadi perubahan besar pada lanskap pesisir yang berpotensi memengaruhi ekosistem dan kehidupan masyarakat sekitar.
Pembangunan pagar laut ini melibatkan berbagai aktor, termasuk pemerintah daerah, perusahaan pengembang, serta pemilik modal yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Berdasarkan data lapangan, pagar laut ini bukanlah infrastruktur resmi pemerintah, melainkan dibangun oleh pihak swasta dengan dalih untuk mengendalikan abrasi dan memperkuat perlindungan terhadap daratan. Namun, tidak ada transparansi mengenai izin pembangunan dan kajian dampak lingkungan yang menyertai proyek ini. Sejumlah pihak menduga bahwa pagar laut tersebut sebenarnya bertujuan untuk menguasai ruang pesisir bagi kepentingan ekonomi tertentu, seperti reklamasi dan ekspansi properti. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas serta keterlibatan pihak-pihak yang diuntungkan dari proyek tersebut.
Dampak dari pagar laut ini sangat nyata terhadap akses nelayan. Sebelumnya, masyarakat pesisir di Tangerang dan Bekasi dapat dengan leluasa melaut dan mencari ikan di perairan dangkal dekat pantai. Namun, dengan adanya pagar laut, akses mereka menjadi terbatas, terutama bagi nelayan kecil yang menggunakan perahu tradisional. Banyak nelayan mengeluhkan bahwa mereka harus menempuh jarak lebih jauh untuk bisa melaut, yang berdampak pada peningkatan biaya operasional dan penurunan pendapatan mereka. Selain itu, beberapa area yang dulunya menjadi tempat pendaratan perahu kini tertutup oleh pagar laut, sehingga mereka kesulitan untuk berlabuh.
Ekosistem pesisir juga mengalami perubahan akibat keberadaan pagar laut. Dari citra Google Earth yang dikutip dari akun Twitter/X elisa_jkt, terlihat bahwa pada sisi timur laut muara Cisadane, muncul warna hijau yang semakin banyak pada tahun 2024 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan adanya perubahan ekosistem, kemungkinan akibat sedimentasi yang terperangkap oleh struktur pagar laut. Dalam jangka panjang, perubahan ini dapat memengaruhi keseimbangan ekosistem pesisir, termasuk habitat ikan dan organisme laut lainnya. Hal ini juga berpotensi mengganggu regenerasi ekosistem bakau yang sangat penting dalam mencegah abrasi dan menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir.
Dampak ekonomi dari pembangunan pagar laut ini juga cukup signifikan bagi masyarakat pesisir. Selain nelayan, banyak usaha kecil yang bergantung pada laut, seperti warung makanan laut dan tempat wisata pesisir, mengalami penurunan omzet karena berkurangnya akses masyarakat ke pantai. Wisatawan yang biasanya datang untuk menikmati pesisir kini terhalang oleh struktur pagar yang membatasi akses ke laut. Beberapa pemilik usaha melaporkan bahwa jumlah pelanggan mereka menurun drastis sejak pagar laut mulai dibangun. Fenomena ini menunjukkan bahwa keputusan pembangunan pagar laut tidak hanya berdampak pada satu sektor, tetapi juga berimplikasi luas terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir secara keseluruhan.
Pembangunan pagar laut di pesisir Tangerang dan Bekasi bukan hanya menimbulkan dampak lingkungan dan sosial, tetapi juga berimplikasi serius terhadap kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. Dalam perspektif hukum kelautan, wilayah pesisir dan laut Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan dari kedaulatan negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan serta Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 (Alfath, Salman & Sukardi, 2020). Keberadaan pagar laut yang dibangun oleh pihak swasta tanpa regulasi yang jelas menunjukkan adanya potensi penguasaan ruang laut oleh kelompok tertentu, yang dapat melemahkan kontrol negara atas wilayah maritimnya. Jika praktik ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin wilayah pesisir Indonesia akan semakin dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki modal besar, sementara masyarakat lokal kehilangan hak mereka atas akses laut yang seharusnya menjadi bagian dari kepentingan nasional.
Salah satu ancaman terbesar dari pagar laut terhadap kedaulatan NKRI adalah terganggunya akses publik terhadap laut. Konsep laut sebagai common property (milik bersama) menjadi terabaikan ketika infrastruktur seperti pagar laut membatasi pergerakan masyarakat, terutama nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut (Patton, et al., 2021). Pembatasan akses ini tidak hanya berdampak pada perekonomian nelayan, tetapi juga mengurangi peran strategis Indonesia sebagai negara maritim yang menjunjung tinggi asas keterbukaan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya laut. Jika tidak segera ditangani, kebijakan yang mengarah pada privatisasi ruang laut ini dapat menciptakan preseden buruk yang berujung pada ketimpangan akses dan eksploitasi laut yang tidak terkendali.
Pagar laut dapat menjadi ancaman terhadap keamanan maritim karena berpotensi menciptakan wilayah-wilayah abu-abu (gray zones) yang sulit diawasi oleh aparat keamanan. Ketika suatu area pesisir dikuasai oleh pihak swasta tanpa pengawasan yang ketat dari negara, potensi penyalahgunaan ruang laut semakin besar (Satria, 20215). Negara-negara yang memiliki kepentingan ekonomi dan strategis di kawasan maritim Indonesia dapat memanfaatkan celah ini untuk menanamkan pengaruhnya, baik melalui investasi yang tidak terkontrol maupun eksploitasi sumber daya yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional (Ali & Sianturi, 2022). Pagar laut yang dibangun tanpa regulasi juga dapat menghambat patroli maritim, mengurangi efektivitas pengawasan terhadap aktivitas ilegal seperti penyelundupan dan eksploitasi sumber daya laut secara tidak sah.
Dari perspektif pertahanan, keberadaan pagar laut yang tidak diatur dengan baik dapat mengurangi fleksibilitas operasional TNI Angkatan Laut dalam menjalankan tugas pengamanan wilayah perairan Indonesia. Salah satu prinsip utama dalam pertahanan maritim adalah kebebasan mobilitas armada laut dalam menjaga perbatasan dan mengantisipasi ancaman eksternal. Jika wilayah pesisir semakin tertutup oleh infrastruktur buatan yang tidak dikelola secara nasional, maka kemampuan negara dalam mendeteksi dan merespons ancaman maritim dapat semakin terbatas. Hal ini bisa menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing untuk melakukan penetrasi ekonomi, bahkan dalam skenario ekstrem, infiltrasi militer dalam bentuk ancaman non-tradisional seperti penyelundupan senjata atau operasi intelijen di wilayah pesisir (Harris, Sudiarso & Sutanto, 2022).
Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk menertibkan proyek pagar laut yang berpotensi mengganggu kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperketat regulasi mengenai pemanfaatan ruang laut dan pesisir, serta memastikan bahwa pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut harus sesuai dengan kepentingan nasional. Selain itu, pengawasan terhadap proyek-proyek yang sudah berjalan perlu diperketat, dengan audit menyeluruh terhadap izin dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Aparat penegak hukum, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus lebih aktif dalam memastikan bahwa tidak ada pihak yang secara sepihak mengklaim dan membatasi akses terhadap laut tanpa persetujuan dan regulasi yang sah dari pemerintah.
Pagar laut di Tangerang dan Bekasi merupakan contoh nyata bagaimana pengelolaan tata ruang pesisir yang tidak terkendali dapat berujung pada ancaman serius terhadap kedaulatan dan keamanan maritim Indonesia. Negara harus mengambil peran aktif dalam menegakkan hukum dan melindungi hak publik atas akses laut, sembari memastikan bahwa kebijakan pembangunan pesisir tetap selaras dengan prinsip keberlanjutan dan kepentingan nasional. Jika dibiarkan berlarut-larut, tidak hanya masyarakat pesisir yang akan dirugikan, tetapi juga integritas wilayah NKRI yang dapat melemah akibat dominasi pihak-pihak tertentu dalam menguasai ruang laut Indonesia.

Dampak pembangunan pagar laut terhadap kebijakan kelautan dan kedaulatan NKRI menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam pemanfaatan ruang pesisir yang dapat merugikan kepentingan nasional. Pagar laut yang dibangun tanpa izin yang sah dan regulasi yang jelas mengancam kedaulatan maritim Indonesia, mengurangi akses masyarakat pesisir, dan menciptakan potensi eksploitasi yang tidak terkontrol. Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus menjaga integritas wilayah laut dan pesisirnya dengan lebih ketat, agar tidak terjadi penyalahgunaan ruang laut oleh pihak-pihak tertentu yang dapat merugikan masyarakat lokal serta mengganggu keseimbangan ekologis dan sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak publik dan pengelolaan ruang laut yang berbasis pada keberlanjutan perlu menjadi prioritas utama dalam kebijakan kelautan. Pemerintah perlu segera memperkuat regulasi terkait pemanfaatan ruang pesisir dan memastikan bahwa setiap proyek pembangunan infrastruktur, seperti pagar laut, tidak merugikan kepentingan masyarakat pesisir dan kedaulatan negara. Rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan mencakup pengawasan yang lebih ketat terhadap pembangunan yang berpotensi mengubah ekosistem pesisir, serta penerapan sistem izin yang transparan dan berbasis pada partisipasi masyarakat. Diperlukan juga penguatan koordinasi antara kementerian terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ATR/BPN, serta pemerintah daerah, untuk memastikan bahwa ruang pesisir dikelola secara berkelanjutan dan sesuai dengan kepentingan nasional.

Daftar Pustaka
Alfath, T. P., Salman, R., & Sukardi, S. (2020). Derivasi Konsep Negara Kepulauan Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bina Hukum Lingkungan, 4(2), 216-235.
Ali, I. M., & Sianturi, D. (2022). Strategi Pertahanan Laut dalam Menghadapi Ancaman Keamanan maritim di Wilayah Laut Indonesia. Jurnal Education and Development, 10(2), 372-379.
Anugerah, B. (2021). Pembinaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terdepan di Indonesia Dalam Rangka Menegakkan Kedaulatan Nasional. Jurnal Kebijakan Pembangunan, 16(2), 253-266.
Arifin, Z., & Satria, A. P. (2020). Analisis Kritis Pengelolaan Perairan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia (Studi Pengaturan Pengelolaan Perairan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Pasca Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 2014 dan Undang-Undang No 23 Tahun 2014). Ganec Swara, 14(1), 521-525.
Harris, A., Sudiarso, A., & Sutanto, R. (2022). Strategi Pertahanan Laut Dalam Rangkaancaman Keamanandi Alur Laut Kepulauan Indonesia II. Jurnal Education and Development, 10(2), 325-331.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). (2025). HGB & SHM telah terbit dalam pagar laut di Tangerang, KIARA: Neo-HP3 dan legalisasi privatisasi laut oleh ATR/BPN dan KKP. KIARA. https://www.kiara.or.id/read-offline/128313/hgb-shm-telah-terbit-dalam-pagar-laut-di-tangerang-kiara-neo-hp3-dan-legalisasi-privatisasi-laut-oleh-atr-bpn-dan-kkp.pdf
Lasabuda, R. (2013). Pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal ilmiah platax, 1(2), 92-101.
Listiyono, Y., Prakoso, L. Y., & Sianturi, D. (2022). Strategi Pertahanan Laut dalam Pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia untuk Mewujudkan Keamanan Maritim dan Mempertahankan Kedaulatan Indonesia. Jurnal Education and Development, 10(2), 319-324.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun