Mohon tunggu...
Calvine Bobo
Calvine Bobo Mohon Tunggu... Ilmuwan - Saya adalah seorang pemerhati masalah sosial, politik, budaya dan pendidikan

Saya adalah seorang pemerhati masalah sosial, politik, budaya dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hasil Audit BPK Diabaikan-JPU Kejaksaan Negeri Sumba Barat Menuntut Terdakwa Tanpa Dasar

2 Februari 2017   13:31 Diperbarui: 2 Februari 2017   13:44 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hal ini berkenaan dengan sidang Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara pidana No. 54/ Pid.sus-TPK/ 2014/ PN.Kpg, atas nama terdakwa, EK selaku Kuasa Pengguna Anggaran (Kepala Dinas Kesehatan Sumba Barat Daya dan OKM, selaku Panitia Pembuat Komitmen (PPK) dalam perkara dugaan korupsi proyek Pengadaan, Peningkatan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Puskesmas, Pustu dan Poskesdes serta Obat-obatan dan Perbekalan Kesehatan di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), yang digelar di Pengadilan Tipikor Kupang pada hari Senin, 30 Januari 2017.

Dalam tuntutannya JPU, yang terdiri dari Andrew Keya dan Jon Lumban Gaol, Catur Rianita, SH dan Yuli Partimi, SH, mendakwa para terdakwa masing-masing 4,6 tahun penjara dan denda Rp 50 juta dengan subsider tiga bulan penjara. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Jemmy Tanjung didampingi dua hakim anggota, Gustaf Marpaul dan Ali Mohtarom ini, JPU menilai kedua terdakwa telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dan memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 802.491.274.

Menurut JPU, perbuatan terdakwa melanggar pasal 1 dan 2 ayat (1) huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan terhadap Undang undang nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 1 ayat(1) jo Pasal 2 ayat (1) dan 2 dan pasal 5 ke-1 KUHPidana.

Selain itu, jaksa juga menilai kedua terdakwa melanggar pasal 3 ayat (2) huruf a Undang-undang RI nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun yang sangat disayangkan bahwa JPU telah gagal dalam membuktikan tuntutannya di persidangan yang telah berjalan sejak bulan Oktober 2016. Hal itu dibuktikan dalam kesaksian dari seluruh saksi yang dihadirkan oleh JPU, di mana tidak ada satupun saksi yang menguatkan dakwaan JPU.

Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius dari Pihak Komisi Kejaksaan RI dan kejaksaan Agung untuk mengusut secara tuntas dan transparan atas apa yang menjadi landasan dan dasar pijakan hukum dari pihak JPU untuk menetapkan tuntutannya atas para terdakwa.

Sebagai warga masyarakat yang membutuhkan keadilan yang seadil-adilnya demi hukum dan keadilan, maka diharapkan lembaga-lembaga pengontrol dan pengawas atas tindakan dan perilaku para Jaksa Penuntut, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Sumba Barat Daya perlu ditingkatkan dan diefektifkan. Bila hal ini tidak dikontrol dan diawasi dengan ketat, maka tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan sewenang-wenang atau kriminalisasi atas pejabat-pejabat daerah yang bersih dan berdedikasi baik akan semakin mewabah di Republik ini, khususnya di Sumba Barat Daya.

Mencermati fakta persidangan yang ada, sangat diduga kuat bahwa kasus ini sangat bermuatan politis dan adanya kepentingan-kepentingan terselubung untuk menjerat para terdakwa demi kepentingan tertentu. Sebagai akibatnya, terjadilah kriminalisasi dan terindikasi kuat JPU atas kuasanya, menabrak sendi-sendi keadilan hukum bagi para tersangka. Lalu pertanyaannya, di manakah SEPREMASI HUKUM di Negeri ini???? Sangat ironis!!!!

Untuk memberikan rasa adil kepada para terdakwa, maka menjadi sangat urgen bagi Lembaga Kejaksaan Agung RI, Komisi Kejaksaan dan Komisi kehakiman untuk turun tangan dalam hal ini agar tindakan kriminalisasi ini tidak berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan yang basa berimplikasi pada keputusan masyarakat untuk mengambil sikap sendiri.

Sebagai gambaran bagi kita semua bahwa Program/ kegiatan Pengadaan alat kesehatan puskesmas, pustu, polindes, dan poskesdes dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten Sumba Barat Daya telah diaudit olehBadan Pemeriksa keuangan (BPK). Bahwa   berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK serta undang-undang terkait, BPK telah memeriksa Neraca Pemerintah SBD per 31 Desember 2014, serta telah menerbitkan  Laporan hasil pemeriksaan  Keuangan atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten SBD tahun 2014 yang memuat opini wajar dengan pengecualiandengan nomor 13.b/ LHP/ XIX.KUP/ 5/ 2015  tanggal 25 Mei 2015, hanya diperoleh temuan dalam pengadaan obat dengan sistem e-catalog, dengan rekomendasi BPK  kepada Bupati SBD agar :

Memerintahkan PPK Dinas Kesehatan supaya berkoordinasi kembali dengan rekanan obat e-catalog untuk melakukan kontrak pengadaan obat;

Memberikan sanksi dan memerintahkan kepala seksi sediaan farmasi dan obat tradisional untuk menertibkan obat kadaluarsa dan mengusulkan proses pemusnahan dan penghapusan;

Memerintahkan Kepala Dinas Kesehatan meningkatkan pengendalian dan pengawasan penatausahaan persediaan obat;

Bahwa berdasarkan uraian di atas telah terbukti bahwa BPK sebagai Auditor negara yang memiliki kewenangan  yang diberikan oleh UUD 1945 dan UU telah melakukan audit terhadap laporan keuangan Pemerintah Daerah Kabuaten SBD dan tidak menemukan adanya kerugian keuangan negara dari Dinas Kesehatan SBD. Lalu pertanyaannya adalah ”MASIHKAH BPK DIPERCAYA SEBAGAI SEBUAH LEMBAGA AUDITOR NEGARA YANG KREDIBEL???” Hanya pihak BPK RI dan Kejaksaan Agung RI yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Yang perlu diketahui oleh semua pihak terkait dan warga masyarakat secara keseluruhan bahwa dalam menghitung kerugian negara, pihak Jaksa Penuntut Umum hanya menggunakan Auditor (Read: katanya) Politeknik Negeri Kupang  yang tidak memiliki kompetensi di bidang Alat Kesehatan dan obat serta tidak memiliki kompetensi dan legal standing dalam menghitung kerugian keuangan negara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini jelas-jelas melanggar ketentuan terkait kewenangan dalam melakukan Audit.

Hal yang lebih aneh dan sangat tidak profesional sebagai lembaga Auditor dan JPU bahwa dalam melakukan perhitungan kerugian negara, JPU bersama dengan Auditor dari Politeknik tersebut menghitung kerugian negara tanpa melakukan cek fisik atas apa yang diaudit. Mereka tidak pernah melakukan pengecekan ke lapangan. Berdasarkan keterangan seluruh saksi dan diakui sendiri oleh Auditor dari Politeknik dimaksud bahwa pihak auditor tidak pernah datang ke lokasi kejadian untuk melakukan Audit. Masih dari pengakuan sang Auditor tersebut bahwa data yang digunakan untuk menghitung kerugian negara hanyalah berdasarkan pada dokumen Invoice yang dikumpulkan dari para kontraktor proyek. Pada kenyataannya, banyak invoice yang tidak lengkap karena masih berada di tangan para kontraktor. Sungguh tercela dan sangat bertentangan dengan peraturan yang ada atas cara-cara yang dilakukan oleh aparat Kejaksaan Negeri Sumba Barat dan auditor.

Berdasarkan keterangan saksi Ahli Pengadaan Barang dan Jasa, DR. Yahya dari lembaga LKPP Propinsi NTT bahwa sesuai Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, pada Pasal 55 menyatakan bahwa tanda bukti perjanjian terkait dengan proyek, terdiri atas bukti pembelian, kuitansi, Surat Perintah Kerja (SPK) dan surat perjanjian. Jadi saksi dengan tegas mengatakan invoice bukan sebagai dasar untuk menghitung kerugian negara terhadap suatu proyek.

Sesungguhnya Invoice hanya merupakan daftar kiriman barang yang dilengkapi dengan keterangan nama, jumlah serta harga yang harus dibayar oleh pelanggan/pemesan, dalam hal ini krontraktor dan bukan merupakan bukti transaksi resmi yang dijadikan acuan dalam menghitung kerugian keuangan negara.

Di samping  itu, Saksi, Dr. Yahya dengan tegas dan meyakinkan bahwa ada tidaknya kerugian negara suatu proyek ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat daerah dan Akuntan Publik. Pemeriksaan BPK dan BPKP dilakukan oleh ahli di bidang masing-masing. Dalam hal audit dilakukan oleh seorang akuntan publik di luar bidang keahliannya, maka menurut saksi, akuntan publik tersebut hanya dapat menghitung barang yang masuk, apakah sesuai spek (spesifikasi), jumlah barang dan fungsinya. Namun tidak untuk menghitung kerugian negara.

Di sisi lain, para Saksi lain yang dihadirkan JPU dalam persidangan ini, mulai dari Panitia PHO, Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), kontraktor dan para kepala puskesmas menyatakan bahwa semua barang (Alkes dan obat-obatan) dinyatakan lengkap dan sesuai dengan kontrak baik dari aspek jumlah, spek dan berfungsi dengan baik. Singkat kata bahwa semua saksi menyatakan dalam persidangan bahwa seluruh barang lengkap dan sudah diterima 100 persen.

Berangkat dari kondisi demikian maka dapat dikatakan bahwa apa yang telah dilakukan oleh para Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Sumba Barat ini adalah tindakan KRIMINALISASI terhadap pejabat daerah. Untuk itu sabagai warga masyarakat yang taat asas dan tata hukum, sudah waktunya pihak Kejaksaan Agung RI dan Komisi Kejaksaan RI serta Komisi Kehakiman RI untuk melakukan audit investigative atas kasus ini dan meminta pertanggungjawaban dari para Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini, termasuk di dalamnya Kepala Kejaksaan Negeri Sumba Barat. Bila hal ini tidak segera disikapi oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab, sangat dikuatirkan adanya ketidakpuasan dari warga masyarakat yang dapat berdampak buruk pada penegakan supremasi hukum di Republik ini, khususnya di Sumba Barat Daya.

Sebagai catatan akhir bahwa benteng terakhir bagi para terdakwa dalam mendapatkan keadilan yaitu melalui putusan dari Majelis Hakim yang menyidangkan kasus ini. Melihat realitas dan fakta persidangan yang sudah terungkap, sebagai warga masyarakat yang ingin melihat supremasi hukum sebagai Panglima di negara kita, khususnya di Sumba Barat Daya, maka sangat diharapkan independensi dan kejujuran hukum dari para Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kelas 1A Kupang yang dipimpin oleh Bapak Jemmy Tanjung Utama (ketua) didampingi Gustaf Marpaung dan Ali Muhtarom (anggota). Semoga masih ada keadilan bagi para terdakwa di tangan para hakim yang adil dan jujur. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun