Keputusan Badan Gizi Nasional (BGN) memasukkan daging hiu sebagai salah satu bahan dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) menimbulkan perdebatan hangat. BGN beralasan bahwa penggunaan daging hiu didasari kearifan lokal di beberapa daerah pesisir, dimana masyarakat sudah lama mengenal olahan hiu sebagai bagian dari tradisi kuliner mereka. Namun, alasan ini justru memicu penolakan luas dari banyak kalangan warga yang merasa langkah tersebut tidak tepat jika dijadikan berskala nasional.
Bagi sebagian masyarakat, hiu dipandang bukan sekedar bahan pangan, melainkan hewan buas laut yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Jika penangkapan hiu dilakukan secara besar-besaran demi memenuhi kebutuhan MBG, dikhawatirkan populasi hiu akan terancam. Kondisi ini tentu bisa memicu masalah lingkungan yang lebih besar, seperti ketidakseimbangan rantai makanan di laut.
Selain persoalan ekologi, aspek kesehatan juga menjadi sorotan. Warga mengkhawatirkan kandungan merkuri pada daging hiu yang bisa membahayakan tubuh, apalagi jika dikonsumsi anak-anak secara rutin melalui program MBG. Para orang tua menilai seharusnya pemerintah lebih berhati-hati dalam memilih bahan pangan, dan tidak serta merta menggeneralisasi praktik lokal sebagai bahan pangan nasional.
Faktor budaya dan selera makan masyarakat juga ikut memengaruhi penolakan ini. Di banyak wilayah di Indonesia, hiu bukanlah hewan yang biasa dikonsumsi. Bahkan, ada kelompok masyarakat yang menganggap memakan hiu adalah hal tabu. Dengan demikian, kebijakan BGN dianggap tidak cukup memperhatikan keragaman budaya dan persepsi masyarakat terhadap jenis makanan tertentu.
Masyarakat yang menolak penggunaan daging hiu tidak menentang program MBG itu sendiri. Mereka tetap mendukung tujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, tetapi menginginkan agar bahan pangan yang digunakan lebih aman, familiar, dan mudah diterima oleh semua kalangan. Ikan laut umum, ayam, telur, atau buah-buahan dinilai sebagai pilihan yang lebih sesuai dan tidak menimbulkan kontroversi.
Penolakkan terhadap daging hiu menunjukkan bahwa sebuah program nasional harus mempertimbangkan lebih dari sekedar alasan kearifan lokal. Kebijakan pangan publik idealnya menyatukan nilai gizi, keamanan, kelestarian lingkungan, dan penerimaan budaya. Jika semua aspek ini diperhatikan, program MBG akan lebih mudah diterima dan benar-benar memberikan manfaat bagi generasi penerus bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI