Birokrasi di Indonesia kerap menjadi sorotan karena rumit, lamban, dan membingungkan. Alih-alih memberikan pelayanan yang cepat dan tepat, seringkali masyarakat justru harus melewati prosedur berlapis yang melelahkan. Dari satu meja ke meja lainnya, berkas yang sama diminta berulang-ulang, hingga akhirnya masalah inti tidak juga mendapat solusi nyata. Fenomena ini mencerminkan betapa bobroknya sistem birokrasi yang seharusnya berfungsi sebagai jembatan antara pemerintah dan rakyat. banyak masyarakat merasa dipingpong hanya untuk mengurus dokumen sederhana. Bagi sebagian orang, kondisi ini bukan hanya membbuang waktu, tetapi juga merugikan secara finansial.
Tak jarang, praktik pungutan liar ikut meramaikan proses birokrasi yang bertele-tele. Masyarakat yang ingin cepat selesai dipaksa "mengerti" dengan memberikan sejumlah uang. Alhasil, pelayanan publik kehilangan makna sebagai hak rakyat, berubah menjadi ladang keuntungan segelintir oknum. Masalah ini sudah lama diketahui, bahkan menjadi bahan kritik di berbagai kesempatan. Namun, perubahan nyata masih terlambat. Digitalisasi birokrasi memang mulai diperkenalkan, tetapi pelaksanaannya sering tidak konsisten. Sistem online kerap bermasalah, sementara pelayanan manual masih tetap berbelit-belit.
Masyarakat sebenarnya tidak menuntut hak muluk-muluk. Mereka hanya ingin dilayani dengan cepat, transparan, dan tanpa biaya tambahan. Jika birokrasi terus dibiarkan dalam kondisi bobrok, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan semakin terkikis. Perlu keberanian politik dan komitmen serius untuk merombak sistem birokrasi dari akar hingga pucuk. Tanpa langkah konkret, birokrasi hanya akan terus menjadi simbol kerumitan yang menambah luka ketidakpercayaan rakyat pada negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI