Sedangkan sang kiai hanya sosok ulama desa yang mengajar di pesantren, yang dibayar dengan swadaya masyarakat dan salam "wajib" para santri atau masyarakat, mengajarkan hal-hal yang tidak penting bagi pengembangan industri dan tehnologi, dan juga kurang "keren" jika ditonjolkan sebagai sosok ilmuwan di khayalak umum.
Pada umunya, orang akan lebih bangga disebut profesor dari pada kiai. Orang akan lebih menganggap ilmiah sang profesor dari pada sang kiai. Orang juga lebih merasa hebat dipanggil profesor dari pada dipanggil kiai. Gelar profesor dibentuk oleh Perguruan Tinggi yang hanya bisa dilalui melalui proses karya ilmiah yang sulit dan memeras otak. Sedangkan kiai hanya gelar yang dibentuk oleh masyarakat-santri yang siapa saja bisa mendapatkannya dengan mudah, termasuk mengklaim atau diklaim.
Namun ada sisi perbedaan yang cukup mencolok antara sang profesor dan sang kiai ketika menjalani hari-hari terakhirnya dan detik-detik menghadapi pengadilan Tuhan pasca kehidupan yang dijalaninya.
Sang kiai dengan bahagia dan tersenyum indah di tanah suci Mekkah tepat pada bulan Dzulhijjah saat menunaikan ibadah Haji. Seluruh umat Islam dunia mendoakan kepergiannya dan putra-putrinya berada disampingnya sambil mengiringi doa-doa keindahan kepada Allah. Kehidupan terakhirnya di tutup dengan bulan mulia, bulan Besar, dimana di bulan inilah orang-orang Muslim-Jawa bisa mengadakan hajatan pernikahan, membangun rumah, khitanan, dan semua bentuk hajatan apapun yang memberikan kemanfaatan jangka panjang. Kepergian sang kiai ramai disambut di kantor-kantor Nahdlatul Ulama, Pondok Pesantren, dan kediaman beliau untuk membacakan tahlil-yasin-doa, yang mana hal ini berbeda dengan hari-hari terakhirnya sang profesor.
Melalui akun media virtual sang profesor di rumah sakit menyesali detik-detik terakhir kehidupannya. Putra-putrinya yang tumbuh besar menjadi sosok yang cerdas dan berpendidikan tinggi seperti dirinya tapi tidak ada yang hadir disampingnya, hanya amplop yang berisi uang saja yang menjenguknya. Kepergiannya tepat bersamaan pada bulan Muharram, atau bulan syuro yang menjadi pantangan bagi masyarakat Muslim-Jawa untuk mengadakan hajatan pernikahan, membangun rumah, khitanan, dan semua bentuk hajatan apapun yang memberikan kemanfaatan jangka panjang. Dan kepergian sang profesor ramai diperbincangkan di media virtual, media online, dan youtube melalui berbagai artikel dan cuwitan.
Siapa yang lebih bahagia dalam menjembut hari-hari terakhirnya, hanya Allah yang tahu. Tapi generasi muda Muslim-Indonesia pasti cerdas melakukan refleksi dan menghayati kesamaan dan perbedaan diantara keduanya.
Semoga keduanya diampuni dosa-dosanya oleh Allah.